Latar
Belakang Masalah
Pada
bagian awal ini, peneliti akan menjelaskan mengenai masalah-masalah yang
menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Seperti halnya yang dinyatakan
oleh Melkior, bahwa “metode yang digunakan oleh para misionaris dan “tim misi: PAPUAN UNION FOREST SERVICE TEAM atau TIM PERSEKUTUAN PELAYANAN RIMBA SEPAPUA (PUFST)”
di suku Ketengban, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, beberapa tahun
yang lalu, yang telah diadakan pelayanan penginjilan atau pemberitaan Injil Kristus,
namun kurang efektif (tidak ada efeknya, tidak berhasil, tidak dapat membawa hasil)[1]”.
Dengan demikian maka,
sesuai dengan fakta yang ada, bahkan peneliti menemukan di suku Ketengban, bahwa
sebagian masyarakat di daerah tersebut belum mendengarkan Injil Kristus. Hal inilah
yang membuat peneliti sangat terbeban bahkan memiliki kerinduan hati untuk mengevaluasi
secara teoretis mengenai metode penginjilan yang telah digunakan oleh tim misi
PUFST selama ini, dalam penginjilan. Sebab metode penginjilan yang digunakan
selama ini kurang efektif, hal ini menyebabkan beberapa masalah sebagai
berikut:[2]
Pertama,
para
tim misi PUFST tidak menetap disana, akhirnya sulit berkomunikasi dan sulit diajak
untuk berdiskusi firman Tuhan.
Kedua,
para
tim misi PUFST tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang ada
di suku Ketengban.
Ketiga,
tim
misi PUFST, tidak bisa memahami bahasa daerah setempat, akhirnya tidak dapat diterima
dengan baik oleh orang-orang yang ada di suku Ketengban. Maka, peneliti sangat
terbeban untuk mempelajari bahasa daerah setempat, untuk dipergunakan dalam memberitakan
Injil Kristus kepada mereka.
Selain
itu metode penginjilan yang dilakukan oleh tim misi (PUFST) kurang optimal, “tidak menguntungkan atau tidak menjadikan yang paling baik[3],
maka
peneliti
mengevaluasi secara teoretis, supaya dapat menemukan metode yang tepat, supaya meningkatkan penjangkauan
jiwa-jiwa baru dengan cara mengajarkan kualitas rohani.
Adapun
Metode-metode
yang digunakan oleh tim misi PUFST dalam pelayanan penginjilan kepada orang-orang di suku Ketengban, sejak tahun
2011 sampai dengan sekarang adalah:
a.
Tim
misi PUFST belajar menyesuaikan diri dengan iklim di suku Ketengban,
supaya terbiasa dengan iklim di daerah tersebut, baik dari dataran tinggi ke
dataran rendah maupun dari daerah yang suhunya dingin ke daerah yang suhunya panas.
b.
Tim
misi PUFST belajar bahasa daerah setempat, supaya bisa
memahami dan menggunakannya untuk memberitakan firman Tuhan.
c.
Tim
misi PUFST mengajarkan warga setempat untuk mengenal abjad: membaca, menulis
dan menghitung. Supaya masyarakat setempat bisa mengenal
abjad dan bisa membaca (Alkitab) dengan sendirinya.
d.
Tim
misi PUFST berusaha untuk mengenal dan memahami medan (jarak) di suku Ketengban,
supaya bisa memberitakan firman Tuhan dari daerah satu pindah ke daerah yang
lain[4].
Selain
hal-hal tersebut di atas, Melkior menyatakan bahwa, “sebagian besar orang-orang
di suku Ketengban, belum menerima Injil Kristus, dan masih menyembah roh-roh
jahat dan benda-benda mati yang dianggap sakral”.[5]
Suatu tantangan yang sangat besar bagi peneliti adalah sulit mengajak warga setempat untuk mengambil keputusan, untuk
meninggalkan penyembahan berhala, sebab orang-orang di suku Ketengban,
sangat sulit diajak meninggalkan penyembahan berhala mereka dan datang dengan segenap
hati untuk mengikuti segala perintah Tuhan.
Kebiasaan
dari orang-orang di suku Ketengban adalah mempercayai bahwa, ada roh-roh yang
dapat menuntun kehidupan mereka dalam segala hal. Ada benda-benda sakral yang
sangat berbahaya dalam kehidupan mereka. Dengan demikian maka, roh-roh jahat dan
benda-benda mati sangatlah mereka percayai dan mengimani untuk menuntun mereka
ke dalam segala sesuatu. Ada lima hal yang mereka percayai adalah sebagai
berikut: pertama, kesehatan, kedua, umur panjang, ketiga, memberi kesuburan kepada pertanian
segala jenis tanaman, keempat, memberi
kelimpahan dalam panen, kelima,
melindungi dari bahaya.
Demikian
pula Yulianus, menyatakan bahwa pertama, “karena
kondisi masyarakat yang sulit untuk dijangkau, kedua, karena kendala geografis (medan atau jarak), ketiga, karena kendala warag setempat tidak
bisa berbahasa Indonesia, kelima, karena
kendala warga setempat masih buta huruf, keenam,
karena kendala dana (biaya) pergi dan pulang pelayanan, ketujuh, karena kendala makanan dan
minuman yang ada di suku Ketengban”.[6]
Suatu
pergumulan dalam pelayanan penginjilan oleh peneliti dan tim misi PUFST kepada
orang-orang di suku Ketengban adalah: (1) Geografis
(medan atau jarak) yang sulit untuk dijangkau. (2) Orang-orang di Suku Ketengban tidak bisa berbahasa Indonesia. Peneliti
sudah melakukan pelayanan penginjilan di suku Ketengban, sejak tahun 2011
sampai dengan sekarang, telah menyaksikan serta mengalami bahwa, dalam berkomunikasi
dengan masyarakat setempat sangat sulit karena tidak dapat memahami bahasa setempat.
(3) Buta huruf, orang-orang yang ada di
suku Ketengban tidak bisa membaca, menulis dan meghitung. (4) Dana (Biaya), karena sekali jalan tiket
pesawat sebesar dua juta rupiah, belum termasuk dengan ongkos barang bawaan yang
se-kilogram bisa mencapai tiga puluh ribu rupiah dari kota Sentani-Jayapura ke suku
Ketengban, adapun pesawat yang ditumpangi adalah: YAJASI, MAF, CARAVAN, AMA,
ADVENT, PAPUA AIR, ALDA AIR dan lain-lain.
Melkior
menyatakan bahwa, “beberapa tahun sebelumnya telah dilakukan penginjilan kepada
suku Ketengban, namun belum melakukan follow up bagi mereka yang telah mendengar
dan menerima serta percaya kepada Tuhan Yesus selama ini”.[7]
[1]Melkior, Menerima
Misionaris Menjemput Peradaban, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 75-79.
[2]Ibid, 84.
[3]Tim Penyusun,
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa EDisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), 910.
[4]Tirianus dkk, Perintisan Tim Pemberita Injil PUFST, (Sentani: 25 Juli 2012)
[5]Melkior, Iwol
Pusat Kehidupan Manusia Aplim Apom, (Salatiga: Satya Wacana University Press,
2017), 49-59.
[6]Yulianus, Kondisi,
Kendala, dan Solusi Menanggulangi Kemiskinan Menjelang Millenium Development
Goals 2015 di Provinsi Papua, (Yogyakarta: Kepel Press, 2016), 13-20.
[7]Melkior, Sejarah
Nama Papua dan Asal Usul Manusianya dari Penemuan ke Peradaban dari Gereja ke Politik,
(Yogyakarta: Kepel Press, 2016), 52.
No comments:
Post a Comment