Thursday, August 1, 2019

MASALAH DALAM BERMISIOLOGI


Latar Belakang Masalah

Pada bagian awal ini, peneliti akan menjelaskan mengenai masalah-masalah yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Melkior, bahwa “metode yang digunakan oleh para misionaris dan “tim misi: PAPUAN UNION FOREST SERVICE TEAM atau TIM PERSEKUTUAN PELAYANAN RIMBA SEPAPUA (PUFST)” di suku Ketengban, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, beberapa tahun yang lalu, yang telah diadakan pelayanan penginjilan atau pemberitaan Injil Kristus, namun kurang efektif (tidak ada efeknya, tidak berhasil, tidak dapat membawa hasil)[1]”.
Dengan demikian maka, sesuai dengan fakta yang ada, bahkan peneliti menemukan di suku Ketengban, bahwa sebagian masyarakat di daerah tersebut belum mendengarkan Injil Kristus. Hal inilah yang membuat peneliti sangat terbeban bahkan memiliki kerinduan hati untuk mengevaluasi secara teoretis mengenai metode penginjilan yang telah digunakan oleh tim misi PUFST selama ini, dalam penginjilan. Sebab metode penginjilan yang digunakan selama ini kurang efektif, hal ini menyebabkan beberapa masalah sebagai berikut:[2]
Pertama, para tim misi PUFST tidak menetap disana, akhirnya sulit berkomunikasi dan sulit diajak untuk berdiskusi firman Tuhan.
Kedua, para tim misi PUFST tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang ada di suku Ketengban.
Ketiga, tim misi PUFST, tidak bisa memahami bahasa daerah setempat, akhirnya tidak dapat diterima dengan baik oleh orang-orang yang ada di suku Ketengban. Maka, peneliti sangat terbeban untuk mempelajari bahasa daerah setempat, untuk dipergunakan dalam memberitakan Injil Kristus kepada mereka.
Selain itu metode penginjilan yang dilakukan oleh tim misi (PUFST) kurang optimal, “tidak menguntungkan atau tidak menjadikan yang paling baik[3], maka peneliti mengevaluasi secara teoretis, supaya dapat menemukan metode yang tepat, supaya meningkatkan penjangkauan jiwa-jiwa baru dengan cara mengajarkan kualitas rohani.
Adapun Metode-metode yang digunakan oleh tim misi PUFST dalam pelayanan penginjilan kepada orang-orang di suku Ketengban, sejak tahun 2011 sampai dengan sekarang adalah:
a.              Tim misi PUFST belajar menyesuaikan diri dengan iklim di suku Ketengban, supaya terbiasa dengan iklim di daerah tersebut, baik dari dataran tinggi ke dataran rendah maupun dari daerah yang suhunya dingin ke daerah yang suhunya panas.
b.             Tim misi PUFST belajar bahasa daerah setempat, supaya bisa memahami dan menggunakannya untuk memberitakan firman Tuhan.
c.              Tim misi PUFST mengajarkan warga setempat untuk mengenal abjad: membaca, menulis dan menghitung. Supaya masyarakat setempat bisa mengenal abjad dan bisa membaca (Alkitab) dengan sendirinya. 
d.             Tim misi PUFST berusaha untuk mengenal dan memahami medan (jarak) di suku Ketengban, supaya bisa memberitakan firman Tuhan dari daerah satu pindah ke daerah yang lain[4].
Selain hal-hal tersebut di atas, Melkior menyatakan bahwa, “sebagian besar orang-orang di suku Ketengban, belum menerima Injil Kristus, dan masih menyembah roh-roh jahat dan benda-benda mati yang dianggap sakral”.[5] Suatu tantangan yang sangat besar bagi peneliti adalah sulit mengajak warga setempat untuk mengambil keputusan, untuk meninggalkan penyembahan berhala, sebab orang-orang di suku Ketengban, sangat sulit diajak meninggalkan penyembahan berhala mereka dan datang dengan segenap hati untuk mengikuti segala perintah Tuhan.
Kebiasaan dari orang-orang di suku Ketengban adalah mempercayai bahwa, ada roh-roh yang dapat menuntun kehidupan mereka dalam segala hal. Ada benda-benda sakral yang sangat berbahaya dalam kehidupan mereka. Dengan demikian maka, roh-roh jahat dan benda-benda mati sangatlah mereka percayai dan mengimani untuk menuntun mereka ke dalam segala sesuatu. Ada lima hal yang mereka percayai adalah sebagai berikut: pertama, kesehatan, kedua, umur panjang, ketiga, memberi kesuburan kepada pertanian segala jenis tanaman, keempat, memberi kelimpahan dalam panen, kelima, melindungi dari bahaya.
Demikian pula Yulianus, menyatakan bahwa pertama, “karena kondisi masyarakat yang sulit untuk dijangkau, kedua, karena kendala geografis (medan atau jarak), ketiga, karena kendala warag setempat tidak bisa berbahasa Indonesia, kelima, karena kendala warga setempat masih buta huruf, keenam, karena kendala dana (biaya) pergi dan pulang pelayanan, ketujuh, karena kendala makanan dan minuman yang ada di suku Ketengban”.[6]
Suatu pergumulan dalam pelayanan penginjilan oleh peneliti dan tim misi PUFST kepada orang-orang di suku Ketengban adalah: (1) Geografis (medan atau jarak) yang sulit untuk dijangkau. (2) Orang-orang di Suku Ketengban tidak bisa berbahasa Indonesia. Peneliti sudah melakukan pelayanan penginjilan di suku Ketengban, sejak tahun 2011 sampai dengan sekarang, telah menyaksikan serta mengalami bahwa, dalam berkomunikasi dengan masyarakat setempat sangat sulit karena tidak dapat memahami bahasa setempat. (3) Buta huruf, orang-orang yang ada di suku Ketengban tidak bisa membaca, menulis dan meghitung. (4) Dana (Biaya), karena sekali jalan tiket pesawat sebesar dua juta rupiah, belum termasuk dengan ongkos barang bawaan yang se-kilogram bisa mencapai tiga puluh ribu rupiah dari kota Sentani-Jayapura ke suku Ketengban, adapun pesawat yang ditumpangi adalah: YAJASI, MAF, CARAVAN, AMA, ADVENT, PAPUA AIR, ALDA AIR dan lain-lain.
Melkior menyatakan bahwa, “beberapa tahun sebelumnya telah dilakukan penginjilan kepada suku Ketengban, namun belum melakukan follow up bagi mereka yang telah mendengar dan menerima serta percaya kepada Tuhan Yesus selama ini”.[7]



[1]Melkior, Menerima Misionaris Menjemput Peradaban, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 75-79.
[2]Ibid, 84.
[3]Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa EDisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 910.
[4]Tirianus dkk, Perintisan Tim Pemberita Injil PUFST, (Sentani: 25 Juli 2012)
[5]Melkior, Iwol Pusat Kehidupan Manusia Aplim Apom, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2017), 49-59.
[6]Yulianus, Kondisi, Kendala, dan Solusi Menanggulangi Kemiskinan Menjelang Millenium Development Goals 2015 di Provinsi Papua, (Yogyakarta: Kepel Press, 2016), 13-20.

[7]Melkior, Sejarah Nama Papua dan Asal Usul Manusianya dari Penemuan ke Peradaban dari Gereja ke Politik, (Yogyakarta: Kepel Press, 2016), 52.

No comments:

Post a Comment

MASALAH DALAM BERMISIOLOGI

Latar Belakang Masalah Pada bagian awal ini, peneliti akan menjelaskan mengenai masalah-masalah yang menjadi latar belakang dalam pene...