TOKOH-TOKOH YANG MENGANUT PAHAM
POSITIVISME
1. Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
Bernama lengkap Isidore Marrie
Auguste Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798).
Keluarganya beragama khatolik yanga berdarah bangsawan. Dia mendapat pendidikan
di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup disana. Dikalangan
teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka
memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak
dalam mendukung Napoleon dipecat. Auguste Comte memulai karier professionalnya
dengan memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun demikian, perhatian yang sebenarnya adalah
pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Tahun 1844, dua tahun setelah dia
menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul “Clothilde Course of
Positive Philosophy”. Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang
mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari pada Comte. Wanita tersebut sedang
ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan Comte pertama kalinya, Comte
langsung mengetahui bahwa perempuan itu bukan sekedar perempuan. Sayangnya
Clothilde de Vaux tidak terlalu meluap-luap seperti Comte. Walaupun saling
berkirim surat cinta beberapa kali, Clothilde de Vaux menganggap hubungan itu
adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya Chlothilde de Vaux menerima
menjalin keprihatinan akan kesehatan mental Comte. Hubungan intim suami isteri
rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan mesra sering diteruskan lewat surat
menyurat. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama, Chlothilde de Vaux
mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sesudah bertemu dengan Comte,
dia meninggal. Kehidupan Comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan
hidupnya untuk mengenang “bidadarinya” itu. Auguste Comte juga memiliki
pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari
ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri
kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”,
melainkan “humanite” suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan
sekedar lawan “egoisme”(Juhaya S. Pradja, 2000 : 91). Keteraturan masyarakat
yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat
menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan
altruisme ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan.
Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk” dalam
hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If
Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan
lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa
agma Masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip,
tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan. Perlu diketahui bahwa
ketiga tahap atau zaman tersebutdi atas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi
perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi perkembangan
perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog adalah seorang
positivis.
2. John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Ia adalah seorang filosof Inggris
yang menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan.
John Stuart Mill memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme.
Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya
dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber
pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling
dipercaya dalam ilmu pengetahuan.
3. H. Taine ( 1828 – 1893 )
Ia mendasarkan diri pada positivisme
dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
4. Emile Durkheim (1852 – 1917 )
Ia menganggap positivisme sebagai
asas sosiologi.
Sejarah filsafat positivisme
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara
umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat
dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume
berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui
percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan
pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik
terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat
batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk
menghukumi pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai
porosnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar
1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh
seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di
sekitar abad ke-17 .
Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi,
komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan
dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Pada paruh kedua abad XIX munculah Auguste Comte (1798-1857), seorang
filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian
mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie
Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam
enam jilid.
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud
memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi
pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis,
menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan
agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua
gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode:
animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau
Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa
adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti
kodrat‘ dan penyebab‘. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena
dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan
aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap
positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan
menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan
rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan
filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena.
B. Pengertian
positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, dalam hal ini
positivisme dapat diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan
empirisme, menempatkan penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan
untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus
didasarkan kepada hal-hal yang positivisme. Dimana positivisme itu sendiri
hanya membatasi diri kepada pengalaman-pengalaman yang hanya bersifat objektif
saja. Hal ini berbeda dengan empirisme yang bersifat lebih lunak karena
empirisme juga mau menerima pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau
pengalaman-pengalaman yang bersifat subjektif juga.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis,
ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting
Positivisme.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan
ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi,
semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya
spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti
yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi
tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja
merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi yang dapat menjadi pengetahuan.
C. Tahap-tahap
perkembangan positivisme
Terdapat
tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada
Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme
(empirio-positivisme) berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach
dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek
nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim,
yang bergabung dengan subjektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan
lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan
lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga
ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan
sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika.
Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika
simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
D. Ide-ide
pokok positivisme
Ide-ide pokok positivisme, antara lain :
1. Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang
paling tinggi tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat
ilmiah .
2. Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara
umum, untuk segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah
yang lazim digunakan dalam ilmu alam.
3. Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima
sebagai ilmu, tetapi "sekadar" merupakan pseudoscientific.
Jadi, kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari
kebenaran adalah teori korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan bahwa
suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung
pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar
apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian
(korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.
E. Ciri-Ciri
Positivisme
Ciri-ciri positivisme antara lain:
a) Objektif/bebas nilai: dikotomi yang tegas antara fakta dan
nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati-terukur, maka
pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
b) Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi.
Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi
tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala
penampakan ditolak (antimetafisika).
c) Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili
realitas partikularlah yang nyata. Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep
logam dalam pernyataan itu mengatasi semua bentuk particular logam: besi,
kuningan, timah dan lain-lain.
d) Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang
dapat diamati.
e) Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa
di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam
semesta memilii strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
f) Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan
prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin
(sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai a giant clock work.
F. Tokoh-tokoh filsafat positivisme
a) Auguste Comte
Philosophe Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, yang
lebih dikenal dengan Auguste Comte, adalah seorang filsuf Perancis. Dia adalah
pendiri dari disiplin sosiologi dan doktrin positivisme. Lahir: 19 Januari
1798, Montpellier, Prancis. Meninggal: 5 September 1857, Paris, Prancis. Nama
lengkap: Isidore Auguste Marie François Xavier Comte. Pendidikan: Universitas
Montpellier, École Polytechnique
b) John Stuart Mill
Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai
negeri sipil. Dia adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial,
teori politik dan ekonomi politik. Lahir: 20 Mei 1806, Pentonville, London.
Meninggal: 8 Mei 1873, Avignon, Prancis. Pasangan: Harriet Taylor Mill. (M
1851-1858). Pendidikan: University College London. Orangtua: James Mill, Harriet
Burrow
c) Hippolyte Taine Adolphe
Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah
pengaruh teoritis kepala naturalisme Perancis, pendukung utama positivisme
sosiologis dan salah satu praktisi pertama kritik historis. Lahir: 21 April
1828, Vouziers, Prancis. Meninggal: 5 Maret 1893, Paris, Prancis. Pendidikan:
École Normale Supérieure
d) Émile Durkheim
Sosiolog David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog
Perancis, psikolog sosial dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan disiplin
akademis dan, dengan Karl Marx dan Max Weber, yang sering dikutip sebagai
kepala sekolah. Lahir: 15 April 1858, Épinal, Prancis. Meninggal: 15 November
1917, Paris, Prancis. Pendidikan: Lycée Louis-le-Grand, École Normale
Supérieure,Universitas Leipzig.
G. METODE
POSITIVISME
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang
faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar
yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang
diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan
demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada
bidang gejala-gejala saja.
Menurut Agus Comte(1798 - 1857 M), bahwa indera itu amat
penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu
dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat
eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misal panas diukur
dengan derajat panas, jauh di ukur dengan ukuran meteran. berat dengan kiloan,
dan sebagainya.Jadi, kita tidak cukup hanya dengan mengatakan api itu panas,
matahari panas, kopi panas, ketika panasa, juga kita tidak cukup mengatakan
panas sekali, panas, tidak panas. Namun kita memerlukan ukuran yang teliti
(secara ilmiah). Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung
dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang
berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.
Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi
kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang
bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala
gejala.
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik
pengetahuan teologis ataupun metafisi dipandang tak berguna, menurutnya,
tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat
yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan
penggunaan akal.
Positivisme ini sebagai perkembangan yang ekstrem, yakni
pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah
“data-data yang nyata/empiric”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai
politik dan sosial menurut positivism dapat digeneralisasikan berdasarkan
fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu
sendiri.
Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara
ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir
induktif, Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses
kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Jadi, penganut faham positivisme meyakini bahwa hanya ada
sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian
juga alam.
Dan bahasa adalah gambar dari kenyataan, karena bahasa
sehari-hari tidak bisa menggambarkan kenyataan secara benar maka
dikembangkanlah bahasa logis dengan kecermatan matematis yg akurat. Positif
berarti, “apa yg berdasarkan pada fakta objektif”.Asumsi dasar positivisme
tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku
manusia itu terikat oleh tertib hukum.Fokus kajian-kajian positivis adalah
peristiwa sebab-akibat (kausalitas).
Dalam hal itu aliran positivisme ini menyebutkan, hanya ada
dua jalan untuk mengetahui :
(1) Verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal).
(2) Penemuan lewat logika (rasional).
H. Kelebihan
dan Kelemahan Filsafat Positivisme
a. Kelebihan Positivisme
1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional,
sehingga kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan
menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan
realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti
dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan
didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta, tetapijuga meramalkan masa depannya.
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor
fisik dan teknologi.
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik
pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar
pemikirannya.
b. Kelemahan Positivisme
1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis
sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan
nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam
pengertian fisik-biologik.
2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak
dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia
yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka.
Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan
keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada
abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga
manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam
positivistic semua hal itu dinafikan.
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga
tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu
yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah
bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera
manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada
hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan
bahan kajian.
6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia
sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan
sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk
kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic.
No comments:
Post a Comment