Tuesday, January 22, 2019

TOKOH-TOKOH YANG MENGANUT PAHAM POSITIVISME.



TOKOH-TOKOH YANG MENGANUT PAHAM POSITIVISME
1.      Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
Bernama lengkap Isidore Marrie Auguste Francois Xavier Comte, lahir di Montepellier, Perancis (1798). Keluarganya beragama khatolik yanga berdarah bangsawan. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup disana. Dikalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak, yang meninggalkan Ecole sesudah seorang mahasiswa yang memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat. Auguste Comte memulai karier professionalnya dengan memberi les dalam bidang Matematika. Walaupun  demikian, perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang berjudul “Clothilde Course of Positive Philosophy”. Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Dia berumur beberapa tahun lebih muda dari  pada Comte. Wanita tersebut sedang ditinggalkan suaminya ketika bertemu dengan Comte pertama kalinya, Comte langsung mengetahui bahwa perempuan itu bukan sekedar perempuan. Sayangnya Clothilde de Vaux tidak terlalu meluap-luap seperti Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali, Clothilde de Vaux menganggap hubungan itu adalah persaudaraan saja. Akhirnya, dalam suratnya Chlothilde de Vaux menerima menjalin keprihatinan akan kesehatan mental Comte. Hubungan intim suami isteri rupanya tidak jadi terlaksana, tetapi perasaan mesra sering diteruskan lewat surat menyurat. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama, Chlothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan sesudah bertemu dengan Comte, dia meninggal. Kehidupan Comte lalu bergoncang, dia bersumpah membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadarinya” itu. Auguste Comte juga memiliki pemikiran Altruisme. Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan, bukan “salah satu masyarakat”, melainkan “humanite” suku bangsa manusia” pada umumnya. Jadi, Altruisme bukan sekedar lawan “egoisme”(Juhaya S. Pradja, 2000 : 91). Keteraturan masyarakat yang dicari dalam positivisme hanya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruisme sebagai prinsip dalam tindakan mereka. Sehubungan dengan altruisme ini, Comte menganggap bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Kailahan baru dan positivisme ini disebut Le Grand Eire “Maha Makhluk” dalam hal ini Comte mengusulkan untuk mengorganisasikan semacam kebaktian untuk If Grand Eire itu lengkap dengan imam-imam, santo-santo, pesta-pesta liturgi, dan lain-lain. Ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai “Suatu agama Katholik tanpa agma Masehi”. Dogma satu-satunya agama ini adalah cinta kasih sebagai prinsip, tata tertib sebagai dasar, kemajuan sebagai tujuan. Perlu diketahui bahwa ketiga tahap atau zaman tersebutdi atas menurut Comte tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi perkembangan perorangan. Misalnya sebagai kanak-kanak seorang teolog adalah seorang positivis.
2.      John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
Ia adalah seorang filosof Inggris yang menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusilaan. John Stuart Mill memberikan landasan psikologis terhadap filsafat positivisme. Karena psikologi merupakan pengetahuan dasar bagi filsafat. Seperti halnya dengan kaum positif, Mill mengakui bahwa satu-satunya yang menjadi sumber pengetahuan ialah pengalaman. Karena itu induksi merupakan metode yang paling dipercaya dalam ilmu pengetahuan.
3.      H. Taine ( 1828 – 1893 )
Ia mendasarkan diri pada positivisme dan ilmu jiwa, sejarah, politik, dan kesastraan.
4.      Emile Durkheim (1852 – 1917 )
Ia menganggap positivisme sebagai asas sosiologi.

  Sejarah filsafat positivisme
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Secara umum boleh dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui percobaan (aliran Empirisme). Sementara Kant adalah orang yang melaksanakan  pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni / aliran Kritisisme). Selain itu Kant juga membuat batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi  pengetahuan tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17 .
Ia  berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Pada paruh kedua abad XIX munculah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial  berkebangsaan Perancis, yang menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti kodrat‘ dan penyebab‘. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.

B.  Pengertian positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, dalam hal ini positivisme dapat diartikan sebagai suatu pandangan yang sejalan dengan empirisme, menempatkan penghayatan yang penting serta mendalam yang bertujuan untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan yang nyata, karena harus didasarkan kepada hal-hal yang positivisme. Dimana positivisme itu sendiri hanya membatasi diri kepada pengalaman-pengalaman yang hanya bersifat objektif saja. Hal ini berbeda dengan empirisme yang bersifat lebih lunak karena empirisme juga mau menerima pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman yang bersifat subjektif  juga.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang dapat menjadi pengetahuan.

C.  Tahap-tahap perkembangan positivisme
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1.    Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.    Munculnya tahap kedua dalam positivisme (empirio-positivisme) berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme.
3.    Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

D.  Ide-ide pokok positivisme
Ide-ide pokok positivisme, antara lain :
1.    Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah .
2.    Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum, untuk segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam ilmu alam.
3.    Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu, tetapi "sekadar" merupakan pseudoscientific.
Jadi, kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.
E.  Ciri-Ciri Positivisme
Ciri-ciri positivisme antara lain:
a)    Objektif/bebas nilai: dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati-terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi).
b)   Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika).
c)    Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata. Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyataan itu mengatasi semua bentuk particular logam: besi, kuningan, timah dan lain-lain.
d)   Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
e)    Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memilii strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
f)    Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai a giant clock work.

F.   Tokoh-tokoh filsafat positivisme
a)   Auguste Comte
Philosophe Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte, yang lebih dikenal dengan Auguste Comte, adalah seorang filsuf Perancis. Dia adalah pendiri dari disiplin sosiologi dan doktrin positivisme. Lahir: 19 Januari 1798, Montpellier, Prancis. Meninggal: 5 September 1857, Paris, Prancis. Nama lengkap: Isidore Auguste Marie François Xavier Comte. Pendidikan: Universitas Montpellier, École Polytechnique
b)   John Stuart Mill
Adalah seorang filsuf Inggris, ekonom politik dan pegawai negeri sipil. Dia adalah seorang kontributor berpengaruh untuk teori sosial, teori politik dan ekonomi politik. Lahir: 20 Mei 1806, Pentonville, London. Meninggal: 8 Mei 1873, Avignon, Prancis. Pasangan: Harriet Taylor Mill. (M 1851-1858). Pendidikan: University College London. Orangtua: James Mill, Harriet Burrow
c)    Hippolyte Taine Adolphe
Adalah seorang kritikus Perancis dan sejarawan. Dia adalah pengaruh teoritis kepala naturalisme Perancis, pendukung utama positivisme sosiologis dan salah satu praktisi pertama kritik historis. Lahir: 21 April 1828, Vouziers, Prancis. Meninggal: 5 Maret 1893, Paris, Prancis. Pendidikan: École Normale Supérieure
d)   Émile Durkheim
Sosiolog David Émile Durkheim adalah seorang sosiolog Perancis, psikolog sosial dan filsuf. Ia secara resmi mendirikan disiplin akademis dan, dengan Karl Marx dan Max Weber, yang sering dikutip sebagai kepala sekolah. Lahir: 15 April 1858, Épinal, Prancis. Meninggal: 15 November 1917, Paris, Prancis. Pendidikan: Lycée Louis-le-Grand, École Normale Supérieure,Universitas Leipzig.

G. METODE POSITIVISME
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Menurut Agus Comte(1798 - 1857 M), bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misal panas diukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan ukuran meteran. berat dengan kiloan, dan sebagainya.Jadi, kita tidak cukup hanya dengan mengatakan api itu panas, matahari panas, kopi panas, ketika panasa, juga kita tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, tidak panas. Namun kita memerlukan ukuran yang teliti (secara ilmiah). Dari sinilah  kemajuan sains benar-benar dimulai.
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.
Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisi dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.
Positivisme ini sebagai perkembangan yang ekstrem, yakni pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empiric”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut positivism dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.
Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif, Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.
Jadi, penganut faham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Dan bahasa adalah gambar dari kenyataan, karena bahasa sehari-hari tidak bisa menggambarkan kenyataan secara benar maka dikembangkanlah bahasa logis dengan kecermatan matematis yg akurat. Positif berarti, “apa yg berdasarkan pada fakta objektif”.Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib hukum.Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat (kausalitas).
Dalam hal itu aliran positivisme ini menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui :
(1) Verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal).
(2) Penemuan lewat logika (rasional).
H.  Kelebihan dan Kelemahan Filsafat Positivisme
a. Kelebihan Positivisme
1.    Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari faham ini  jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut.
2.    Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur dan valid.
3.    Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas menghimpun fakta, tetapijuga meramalkan masa depannya.
4.    Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan teknologi.
5.    Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar pemikirannya.


b. Kelemahan Positivisme
1.    Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2.    Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3.    Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
4.    Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5.    Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6.    Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic.


No comments:

Post a Comment

MASALAH DALAM BERMISIOLOGI

Latar Belakang Masalah Pada bagian awal ini, peneliti akan menjelaskan mengenai masalah-masalah yang menjadi latar belakang dalam pene...