BAB
XIV
KEHIDUPAN
EKONOMI
Sistem ekonomi adalah
proses dimana material tersebut berarti untuk kepuasan kebutuhan manusia
dihasilkan kemudian didistribusikan dan dan dikonsumsi. Fungsinya itu tidak
hanya memberikan kekuatan dalam masyarakat untuk membentuk kepribadian. Sebuah
sistem ekonomi akan meninggalkan dasar produk kepada seseorang. Oleh karena
itu, kekristenan memiliki tanggung jawab dalam terang kasih dan keadilan, untuk
menantang ciri-ciri sistem yang merugikan sebanyak orang. Bab ini akan berusaha
untuk menunjukkan cara berpikir alkitabiah dan sejarah gereja terhadap
kehidupan ekonomi. Latar belakang dan analisis ini dibuat berdasarkan dengan situasi
dari ekonomi Amerika. Sebuah pernyataan kemudian dibuat berhubungan dengan doktrin
orang Kristen dan relevansinya dengan sistem pencapaian lebih kepada ekonomi
Kristen. Akhirnya sebuah pengamatan dibuat dari masalah ekonomi dunia dan apa
yang bisa dilakukan gereja tentang hal itu?.
Mengatur
Harta Benda Secara Alkitabiah
Pendekatan seorang Kristen
terhadap kehidupan ekonomi melibatkan telusuran terhadap Pengajaran Alkitab
tentang harta dan kekayaan. Di sinilah kita tidak memiliki “blueprint” untuk
tatanan ekonomi Kristen karena baik dari nabi-nabi maupun Tuhan Yesus adalah bukanlah
filsuf ekonomi atau perencana. Namun, muncullah semua prinsip etika melalui
tulisan-tulisan suci yang menjelaskan mengenai masalah-masalah ekonomis.
Dalam Perjanjian Lama,
asas-asas yang berkaitan dengan hal kepemilikan (harta benda) dan yang digunakannya
cukup jelas, semuanya adalah milik Tuhan. Dia menciptakan segala sesuatu dan
karena itu segala-sesuatu adalah benar-benar milik-Nya. “Segala sesuatu ini adalah
buatan tangan-Ku, dan semua ini adalah milik-Ku, firman Tuhan” (Yes 66: 2). Dan
Juga Pemazmur menyatakan: “bumi adalah milik Tuhan dan kepenuhan-Nya, dunia dan
mereka yang tinggal di dalamnya” (Mazmur 24:1). Harta benda adalah anugerah
dari Tuhan dipercayakan kepada manusia dan digunakan untuk kebutuhan manusia
(Imamat 19: 9; Ayub 31:16-33; Yes 58:7-8). Dengan demikian kepemilikan harta
benda tidak mutlak. Layaknya harta benda adalah milik Tuhan dan harta benda
harus digunakan untuk kepentingan bersama. Ada yang berprinsip bahwa pemilik harta
benda adalah orang-orang besar yang memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk menghilangkan
hak milik orang lemah baik rumah maupun tanah (Ayub 24:2-12; Yes 5:8; Amos
5:11-12; Mikha 2:1; Yer 22:13). Padahal perintahnya, “jangan mencuri”, secara
khusus menuntut penghormatan atas harta milik orang lain.
Prinsip-prinsip
Perjanjian Lama di atas sesuai dengan sifat tercermin dalam ajaran Yesus.
Sudahkah kita memperhatikan bahwa Yesus bukanlah seorang ekonom, tapi prinsip
dasar, yang membawa kita pada suatu paham kepemilikan yang dinyatakan melalui
segenap ajaran atau penyampaian pesanan-Nya. Untuk satu hal, Yesus mengenali
hak milik harta benda seseorang pribadi seperti dalam hal makanan dan pakaian
(Matius 6:33; Markus 6:37). Sedikitnya ada beberapa murid-Nya menyimpan rumah
mereka terlebih dahulu setelah dipanggil oleh Yesus menjadi murid-Nya (Markus
1:29: Yohanes 20:10). Maria dan Marta tetap diam di rumah mereka, dan Yesus
ingin untuk pergi ke sana (Yohanes 11: 1). Yusuf dari Arimatea adalah seorang
murid yang kaya (Matius 27:57). Dan Yesus sepertinya merestui ide atau gagasan dari
pemilik tanah dan hubungan antara pemilik tanah dan penyewa adalah diri-Nya (Matius
21: 33-41; Lukas 20: 9-16).
Yesus menyatkan bahwa
milik orang lain harus dihormati. Dia melarang pencurian dan penipuan (Markus
7:21). Dia bagaikan api "yang menelan rumah janda-janda dan berpura-pura
berdoa panjang-panjang" (Markus 12:40) dan orang-orang Farisi yang
melakukan pemerasan (Matius 23:25). Jadi kekayaan yang didapat dengan cara yang
tidak benar dikutuk. Kesadaran atau Pemulihan dari keuntungan yang yang tidak
benar atau jahat adalah satu bukti pertobatan sejati (Lukas 19: 2-10). Di luar
ini, Yesus tidak secara khusus mengutuk proses memperoleh kekayaan.
Mengenai hak kepemilikan atau
harta benda mutlak ditolak oleh Yesus. Manusia adalah pelayan, memegang semua semua
harta benda yang dipercayakan (Matius 20: 1-16; Lukas 19: 11-27). Oleh karena
itu harta benda, sebenarnya diberikan untuk kebutuhan manusia (Matius 25:40,
45). Pemikiran mengenai ekonomi masa depan adalah tindakan yang bagus, tetapi pada
permulaannya terlalu asyik karena memikirkan keesokan harinya namun sudah tidak
berlaku lagi (Lukas 14: 28-33; Mat 6: 24-34). Keasyikan yang tidak semestinya
ini dengan tidak hanya banyak kekayaan tetapi juga dengan persediaan material
sederhana dari kehidupan harus ditegur - "karena itu jangan cemas"
(Matius 6: 25, 31; Lukas 12: 22-29).
Sementara Yesus tidak
mengutuk kekayaan seperti itu, dia memang memperingatkan bahaya dan tipu
dayanya. Kekayaan cenderung menghambat firman Tuhan, membuatnya tidak berbuah,
dan kemungkinan menumpulkan perhatian seseorang terhadap rohani mereka (Matius
13:22). Kekayaan duniawi cenderung menciptakan rasa aman yang salah atau semu (sementara)
(Lukas 12:16) untuk menjaga orang-orang dari kekayaan kerajaan dengan hati yang
terbagi (Matius 6:24). Perhatian yang tidak punya harta benda, seperti pria-pria
membuat suatu alasan yang tidak masuk akal untuk menolak datang ke pesta
kerajaan (Lukas 14:19). Maka tidak mengherankan, bahwa Yesus menyatakan,
"akan sulit bagi orang kaya untuk masuk ke dalam kerajaan surga"
(Matius 19:23).
Menurut Yesus uang dapat
digunakan, dengan cara yang baik. Ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
esensial individu manusia dan ketergantungannya (Mat 7:11); untuk mendukung
lembaga keagamaan (Matius 22:17; Markus 12:14; Lukas 20:22); dan mungkin dia
menyiratkan bahwa uang secara sah dapat digunakan sebagai kesaksian atas rasa
syukur yang indah dan kasih kepada Yesus (Matius 26:6-13; Markus 14:3-9; Lukas
7:36-50; Yoh. 12:2-8).
Di gereja apostolik,
muncul sebuah komunitas yang namanya koinonia komunitas tersebut tugasnya
sebagai pembagian barang. Kita diberitahu: "Semua orang yang percaya saat
itu segala barang menjadi milik bersama; dan mereka menjual miliknya dan
barang-barang mereka dan membagikannya kepada semua orang yang membutuhkannya
"(Kisa Para Rasul 2: 44-45; 4:32). Itu adalah tindakan persaudaraan
spontan dan sukarela dimana ada pembagian harta berdasarkan kebutuhan. Dengan
pertumbuhan gereja, pola praktik untuk perekonomian masyarakat itu juga
terbukti praktis dan tidak tergantikan oleh sebab tidak adanya "Dana yang
buruk". Tapi ini mencerminkan bahwa untuk waktu yang singkat itu ekonomi
didominasi oleh semangat cinta kasih kepada tingkat yang lebih dalam.
Rasul Paulus tidak secara
khusus menantang tatanan ekonomi atau menyajikan sebuah filsafat ekonomi.
Namun, ia memang memberikan beberapa prinsip panduan untuk kehidupan ekonomi.
Untuk satu hal, dia mendesak orang Kristen untuk mencari nafkah dengan
pekerjaan yang baik dan jujur (Efesus 4:28). Dia menegur kemalasan, menyatakan
bahwa, "jika ada orang yang tidak mau bekerja, janganlah diberi dia makan"
(2 Tes. 3:10). Pernyataan ini dinyatakan dalam ayat dua belas. Manusia harus
bekerja tidak hanya untuk mendukung dirinya sendiri, tetapi juga segala sesuatu
yang dimiliki dapat dibagikan kepada mereka yang membutuhkannya (Efesus 4: 8b).
Paulus sendiri bekerja dengan tangannya sendiri agar tidak menjadi beban
keuangan bagi gereja-gereja, meskipun ia memiliki hak atas dukungan mereka (1
Tesalonika 2: 9; 1 Kor 9: 9).
Paulus menunjukkan bahaya
yang terlibat dalam keinginan setiap orang untuk menjadi kaya, dia mengatakan
bahwa "cinta uang adalah akar dari semua kejahatan" (1 Timotius 6:
9-10). Orang-orang yang memiliki kekayaan dituntut "untuk tidak menjadi
angkuh, atau untuk memberi harapan pada kekayaan yang tidak pasti atau semu
bahkan sementara, namun datangla kepada Tuhan yang dengan kaya menumbuhkan kita
dengan segala sesuatu untuk dinikmati" (1 Timotius 6:19).
Tidak ada keinginan
bahakan cita-cita komunis yang muncul dalam Tulisan-tulisan Paulus, namun dia
menuntut agar mereka yang memiliki harta berbagi dengan orang lain dalam
"kesederhanaan" dan untuk mendistribusikan kebutuhan orang-orang
kudus (Rm. 12: 8,13). Mengenai sikap pribadinya terhadap uang, Paul tampaknya
tidak mempedulikannya (Flp 4:11). Dia tidak membuat pernyataan tentang dunia
perdagangan, dan industri. Kegiatan ekonomi ini berada di luar benak dan
perhatiannya, karena ia melihat akhir dari dunia sekarang (1 Korintus 7:31;
11:32).
Dengan cara ringkasan,
prinsip dasar kepemilikan dalam Alkitab adalah: Tuhan menciptakan segala
sesuatu dan segala sesuatu menjadi miliknya; Manusia adalah pelayan dari semua
yang Tuhan telah berikan kepadanya untuk digunakan sebagai kebutuhan manusia;
hak kepemilikan tidak mutlak tapi sekunder (tingkatan kedua); kepemilikan harus
diperoleh secara jujur dan restitusi harus dilakukan bila salah disesuaikan;
dan kekayaan harus selalu berada di bawah kekuasaan Tuhan - jika tidak, mereka
terbukti ditiipu dan itu sangat membahayakan.
Dengan demikian tidak ada
sistem ekonomi "Kristen" yang tercantum dalam tulisan suci.
Sebaliknya, kita disajikan dengan beberapa prinsip dasar untuk panduan dalam
kegiatan ekonomi. Prinsip etika ini memberikan kriteria dasar untuk menilai
keadilan tatanan ekonomi.
Perhatian
Ekonomi Kristen Melalui Abad/Tahun
Dalam sejarah yang
panjang ini, gereja telah mengekspresikan sikap secara menddasar dan
konservatif terhadap masalah ekonomi. Pada periode patristik gereja, beberapa bapa-bapa
gereja menekankan prinsip milik umum. Gema Koinonia di Kisah Para Rasul tercermin
dalam institusi kehidupan monastik yang kolektif. Tapi, untuk sebagian besar,
orang Kristen "di dunia ini" menerima gagasan kepemilikan pribadi,
yang mengungkapkan tanggung jawab ekonomi dalam hal filantropi.
Selama periode akhir abad
pertengahan, Thomas Aquinas, dalam ringkasan Teologinya, memberi ungkapan paling
jelas pada konsep ekonomi pada periode itu. Menurutnya, manusia memiliki hak
atas hukum alam untuk kepemilikan pribadi atas harat benda yang akan digunakan
untuk kepentingan bersama. Dia mengutuk riba, pencurian perampokan, kecurangan
dalam aktivitas bisnis, dan menekankan teori "harga adil". Ganti rugi
yang dikandungnya menjadi keharusan dan perbuatan atau kebaikan berarti
memenuhi kebutuhan orang miskin.
Para reformator besar,
Luther dan Calvin, menganggap masalah ekonomi sebagai dasar kehidupan Kristen.
Luther berkeras hak atas kepemilikan atau milik pribadi. Kepemilikan pribadi
diperlukan, dipegangnya, karena sifat manusia yang jatuh. Terlebih itu
seseorang harus memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Komunisme,
menurutnya, berdasarkan kemampuan dalam perbuatan dan rajin oleh orang malas.
Namun, dia tidak percaya pada kepemilikan mutlak, karena hak atas harta benda
bergantung pada penggunaannya yang benar.
Luther menyerang praktik
riba karena para penyewa mengumpulkan kepentingannya yang aman tanpa usaha atau
risiko, bertentangan dengan prinsip tugas untuk bekerja. Uang yang dipinjamkan
pada komoditas tertentu harus sesuai, menurutnya, terhadap suku bunga sesuai
dengan alasan dan perbuatan atau kebaikan dengan empat sampai enam persen per
tahun sebagai batasnya.
Luther memiliki
kepedulian yang mendalam terhadap orang miskin dan mengorganisir sebuah
"badan komunitas" untuk bekerja demi kesejahteraan dan pendidikan
mereka. Program ini harus didukung oleh gereja, masyarakat, dan negara. Jadi
menurut Karl Holl, Luther menanam benih pertama untuk pengembangan
kesejahteraan negara.
Calvin berpendapat bahwa
hak atas kepemilikan pribadi bergantung pada penggunaan hak itu. Tapi dia
melihat bahwa bekerja dengan adil dibenarkan untuk tujuan perdagangan. Namun
dia mengutuk pemberian uang sebagai pekerjaan untuk tujuan keuntungan. Untuk
menarik perhatian orang miskin, yang dia anggap tidak adil. Namun, dia
mengizinkan bunga tanpa restunya seandainya transaksi itu dengan orang kaya!
Tapi di mana minat dibenarkan dan hakim menetapkan tingkat bunga lima persen,
bukan, dia mempertahankannya, selalu berhak mengambil sebanyak itu.
Baik Luther maupun Calvin
tidak melakukan perubahan menyeluruh dalam struktur ekonomi. Pola hidup
kapitalis sudah jauh maju di zaman mereka dan, di abad-abad berikutnya, menjadi
mode ekonomi dominan Eropa barat dan Amerika.
Kembali munculnya
industri di abad kesembilan belas membawa perubahan yang unik dalam kehidupan
ekonomi. Mekanisasi produksi menyalurkan kelas menengah baru, industri baru
tenaga kerja murah, kumuh, dan eksploitasi. Teori ekonomi klasik laissez yang
lebih adil memberi dorongan besar bagi perkembangan sistem peribukotaan yang
modern. Setiap pengawasan yang mungkin dimiliki gereja terhadap tatanan ekonomi
telah hilang. Memang prinsip-prinsip alkitabiah mengenai kepemilikan tidak
hanya diabaikan, tapi dikembalikan.
Pada pertengahan abad
kesembilan belas, sosialis Kristen di Inggris, di bawah kepemimpinan Charles
Kingsley, pendeta Anglikan FD Maourice, dan JM Ludlow, seorang pengacara dan
rekan gereja lainnya, berusaha untuk mengatasi kejahatan ekonomi dengan
mempromosikan serikat pekerja, pendidikan orang dewasa, koperasi, asuransi
sosial bagi para pekerja. Sementara mereka berhasil mencapai beberapa
reformasi, kejahatan mendasar industrialisme terus berlanjut.
Pemikiran Katolik Roma
mengenai isu ekonomi menemukan ekspresi otoritatif dalam sebuah surat ensiklik
Paus Leo XIII dan Pius XI. Dalam sebuah dokumen yang luar biasa, pemutaran
perdana di novarum, 15 Mei 1891, Leo XIII mendesak reformasi ketenagakerjaan,
termasuk hak pekerja untuk mengatur, upah minimum, pada jam kerja, dan sebuah
demonstrasi lagi mengenai pengharapan pada pekerja anak.
Empat puluh tahun
kemudian, Pius XI, dalam surat ensikliknya Quadragesimo Anno, 15 Mei 1951,
berusaha untuk membela tuduhan bahwa teori hukum Alam Leo tentang kepemilikan
pribadi menempatkan di luar wilayah negara dan Gereja Roma di sisi bagus atau
berkelas. Dia menyatakan bahwa Gereja Roma tidak pernah menyangkal dua aspek
kepemilikan, individu dan sosial. Dia mencatat, bagaimanapun, bahaya ganda yang
harus dihindari: individualisme ekstrim dan kolektivisme ekstrem. Persaingan
bebas dan dominasi ekonomi yang lebih, masih dia pegang, harus dijaga dengan
adil dan pasti, dan di bawah kontrol otoritas publik untuk kepentingan bersama.
Selain itu, ia mengakui hak kepemilikan negara atas beberapa permodalan untuk
mengimbangi monopoli kekuatan ekonomi yang akan mengancam kesejahteraan rakyat.
Dia menyimpulkan bahwa ketika otoritas sipil menyesuaikan kepemilikan untuk
memenuhi kebutuhan barang publik, maka secara efektif mencegah ketidakadilan
dan kehancuran.
Untuk menerapkan perintah
Paus pemimpin Gereja Roma telah mengembangkan sebuah organisasi yang dikenal
sebagai tindakan atau usaha dari Gereja Katolik. Ini menyediakan alat-lata
dalam pemikiran dan tindakan sosial melalui tatanan sosial. Dalam masalah
ekonomi, tindakan Katolik sangat efektif, khususnya dalam menarik minat gerakan
buruh.
Selama paruh kedua abad
kesembilan belas di Amerika, muncul sebuah gerakan yang dikenal sebagai Injil
sosial, yang merupakan respons terhadap industrialisme dan masalah urbanisasi,
kemiskinan, upah, kumuh, dan pengangguran yang bersamaan. Saya bukan hanya
penebusan individu tapi juga rekontruksi masyarakat, termasuk tatanan ekonomi. Di
antara pemimpin dinamisnya ada semua Pendeta adalah Washington Gladden,
Francis, Peabody, dan Walter Rauschenbusch. Rauschenbusch, tidak hanya menjadi pemimpin
intelektual tapi juga penafsir gerakan yang paling bagus dan sesuai bahkan yang
paling memuaskan. Inti pemikirannya adalah kerinduan Allah untuk sebuah sistem
ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip sosialistik kerja sama, perkiraan
persamaan, hak atas kolektif, dan demokrasi. Dengan sosialisasi sumber daya
hutan mojor hutan, tenaga air, mineral, dan sebagainya. Dalam pemikirannya,
sistem ekonomi harus disatukan dengan etika cinta, harga diri, solidaritas
manusia yang merupakan etika Kerajaan Allah. Dalam hal praktis, ini berarti
skala upah minimum, Jam Kerja yang lebih pendek, kondisi kerja yang lebih baik,
perumahan umum, jaminan sosial, dan berbagai tindakan lain yang kemudian
tercermin dalam program NEW Deal Franklin D. Roosevelt. Sementara aspek
teologis tertentu dari Injil sosial dipertanyakan - karena kurangnya realisme
mengenai doktrin tentang Tuhan, manusia, dosa, dan kemungkinan dari realisasi
Kerajaan Allah di bumi - perhatiannya terhadap transformasi tatanan ekonomi
dalam hal prinsip-prinsip Kristen tentu tetap ada.
Diskusi kontemporer oleh
pemikir Kristen berpusat pada era upaya untuk menemukan posisi yang dapat
dipertahankan antara individualisme ekstrem dan kolektivisme ekstrem dalam
kehidupan ekonomi. Dia Dewan Gereja Dunia, pertemuan di Amsterdam (1948),
mengkritik kapitalisme dan komunisme, baik yang kapitalisme maupun komunisme
untuk pandangan ideologis mereka. Misalnya, ini menunjukkan pandangan
komunisme, yang berpendapat bahwa, setelah revolusi, kebebasan akan terbentuk;
dan pandangan kapitalisme, yang berpendapat bahwa keadilan akan menjadi produk
sampingan dari perusahaan bebas. Laporan resmi dewan tersebut menyimpulkan
bahwa Gereja-gereja Kristen seharusnya "menolak ideologi kapitalisme
komunis dan kapitalisme yang tidak adil, dan harus berusaha menarik manusia
menjauh dari anggapan salah bahwa ekstrem ini adalah satu-satunya alternatif
..... adalah tanggung jawab orang-orang Kristen untuk mencari solusi baru dan
kreatif agar yang tidak pernah membiarkan keadilan dan kebebasan saling
menghancurkan satu sama lain. "
"Saat ini, dewan
nasional gereja Kristus di Amerika mensponsori penerbitan serangkaian studi
tentang etika dan kehidupan ekonomi, yang dimulai pada tahun 1949 oleh studi
yang dilakukan oleh Dewan Gereja-gereja Federal. Sudah delapan jilid telah
diterbitkan sementara yang lain dalam persiapan publikasi. Ditulis oleh ekonom
dan teolog terkemuka, jilid ini mewakili analisis ekonomi paling signifikan dan
menyeluruh yang pernah diupayakan oleh para pemrotes. Sifat, fungsi, dan tujuan
ekonomi dibahas bersamaan dengan implikasi etika Kristen terhadap kehidupan
ekonomi. Dalam jilid, konsensus umum para teolog adalah bahwa tidak ada
"sistem ekonomi Kristen" dalam Alkitab; Kasih Kristen adalah kriteria
sistem ekonomi yang adil; Kapitalisme klasik dan komunisme kontemporer harus
ditolak karena memiliki posisi alternatif di antara keduanya; dan, ekonomi yang
terencana penting untuk distribusi kekayaan negara yang lebih merata.
Ekonomi
Kapitalis Amerika
Ekonomi Amerika umumnya
digambarkan sebagai sistem kapitalistik. Dengan lebih teliti, ini adalah
"negara kesejahteraan kapitalistik" karena sistem tersebut telah mengalami
perubahan yang signifigan dalam beberapa dekade terakhir. Oleh karena itu
sangat berbeda dengan "capitasilisme klasik" yang darinya telah
dikembangkan.
Kebangkitan
Kapitalisme
Akar kapitalisme
kontemporer kembali ke setidaknya abad ke-12. Kapitalisme maju dengan baik pada
saat reformasi, terlepas dari kenyataan bahwa Gereja menuntut praktik riba.
Karena John Calvin, pembaharu yang hebat, menyadari bahwa ketertarikan terbatas
dibenarkan untuk tujuan perdagangan dan menekankan pencarian kekayaan dalam hal
prasangka, kehati-hatian, dan kejujuran, dia telah disandang sebagai "Bapa"
kapitalisme modern. Max Weber, misalnya berpendapat bahwa penanaman keyakinan
Calvinnist meningkatkan pencarian kekayaan ke sebuah etika yang dengan iman
Kristen. Oleh karena itu, kapitalisme adalah "mitra sosial
Calvinisme." Karena didorong oleh etika baru yang diletakkan di atasnya, industry
kelas menengah mencabut aristokrasi (Kaum Bansawan) yang berkuasa,
melengkapinya dengan tatanan sosial borjuasi (Masyarakat Yang Berpenghasilan di
atas Rata-Rata) yang terdesak dalam materialisme, dan kehilangan motivasi religius
aslinya. Sekarang, Weber mengklaim, bahwa sebuah agama baru diperlukan untuk
memecah etika lama sebelum kehidupan dapat "dirasionalisasi" untuk
memberi etos baru tentang keadilan dan tanggung jawab ekonomi. Tentunya ini
adalah pandangan satu sisi. Weber gagal jatuh ke dalam kekeliruan pendekatan
"penyebabnya". Dengan memilih satu faktor penyebab, ia cenderung
mengabaikan fakta bahwa ada banyak hal lain seperti penemuan, penemuan
didefinisikan sebagai "sistem produksi untuk keuntungan pribadi yang diatur
oleh kekuatan kebutuhan dan persediaan, perluasan perdagangan, perdagangan, dan
pertumbuhan industri yang berkontribusi pada bangkitnya kapitalisme tinggi.
Kapitalisme yang diakui dapat
di pasarkan." Filsafatnya adalah individualisme ekonomi sebagaimana tercermin
dalam Kekayaan Bangsa, Adam Smith, di mana dia menyatakan bahwa masing-masing
orang yang mengikuti ketertarikannya sendiri akan "dipimpin
oleh tangan tak terlihat” (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk
mempromosikan kebaikan ekonomi terbesar bagi masyarakat. Jadi, menyatakan
keadilan, menjadi semboyan untuk sistem ekonomi yang baik. Teori hukum alam ini
- upah alami, kebebasan alam, dan pasalnya pekerjaan tanpa kontrol - cenderung menjadi hukum ilahi ekonomi.
Metode kapitalisme adalah
kompetisi; Motifnya adalah keuntungan atas investasi; akhirnya diberikan
kekayaan; dan dasar dari semuanya adalah harta benda pribadi. Di satu sisi
kapitalisme telah menghasilkan modal yang luas (modal bekerja gabungan yang
adalah di bawah kesatuan manajemen dalam memproduksi, membeli dan menjual) dan
di sisi lain sebuah organisasi buruh yang luas (pekerjaan, yang selalu ada tawar-menawar).
Kasus untuk yang melawan
sistem kapitalistik sederhana atau "bebas" telah diperdebatkan tanpa
henti. Dikatakan bahwa kapitalisme mensubordinasikan pertemuan kebutuhan
manusia dengan keuntungan ekonomi dari mereka yang memiliki kekuasaan paling
besar atas institusi-institusinya; Ini menghasilkan ketidaksetaraan yang
serius; tentu ini akan menumbuhkan semangat materialisme; dan itu mengarahkan kepada
orang-orang ke bahaya atau malapetaka sosial seperti pengangguran massal selama
akibat depresi berkala.
Namun, terlepas dari
kelemahannya, kapitalisme memiliki keuntungan yang sangat besar. Kapitalisme
telah meningkatkan produktivitas, membawa standar kehidupan tertinggi di dunia;
Ini telah mensponsori kegiatan filantropis, ilmiah, dan pendidikan. Selain itu,
kapitalisme telah ditandai dengan kebebasan mengakuisisi, dan telah menekankan
pada inisiatif individu.
Kapitalisme
Amerika Kontemporer
Terlepas dari manfaat
capitalis yang tinggi, namun belum memenuhi kebutuhan manusia di negara kita. Oleh
sebab itu, pemerintah telah tergerak menjadikan "Gubernur" sebagai stabilisator
(pengatur keseimbangan) perekonomian kita. Akibatnya, telah muncul sebuah
sistem kapitalistik yang dimodifikasi yang disebut "Kesejahteraan Negara",
di mana kepemilikan pribadi dominan. Gerakan menuju tujuan sosialistik dimulai
di negara Amerika Serikat lebih dari dua dekade yang lalu dengan
"Kesepakatan Baru" di bawah pemerintahan Presiden Franklin D.
Roosevelt. Dan di bawah pemerintahan "Fair Deal" Presiden Trumen,
nasional bergerak mendekati tujuan sosialistik ini. Pergeseran kontrol partai
pada tahun 1952 ke republik tidak diikuti oleh penolakan terhadap fitur utama
New Deal. Sebaliknya, republiken menerima dan bahkan memperluas beberapa
kebijakannya. Sekarang Amerika Serikat pada prinsipnya berkomitmen pada sistem
negara kesejahteraan.
Secara singkat,
"negara kesejahteraan" terutama tidak bersifat sosialistik maupun
komunis dalam narasi. Dalam keadaan kesejahteraan yang demokratis, kebebasan
berbicara, pertemuan dan aksi publik yang dijamin dalam Konstitusi dilestarikan
atau diteruskan. Oleh karena itu, ini adalah "ekonomi campuran"
dengan "perusahaan yang berdaulat" sebagai komponen kesejahteraan.
Negara menjadi instrumen komunitas yang diorganisir secara politis untuk
mempromosikan kesejahteraan ekonomi warganya.
Kesejahteraan Negara berawal
dari berbagai upaya untuk meringankan kontrol dan tindakan negara atas dampak
buruk sistem industri di Amerika. Hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan
sosial seperti pajak penghasilan progresif, jaminan sosial, hibah federal dalam
bantuan, perumahan umum, upah minimum, undang-undang untuk kondisi kerja yang
lebih baik, biasanya terhadap pergerakan buruh, pajak negara bagian dan
warisan, dan tindakan lain yang dirancang. untuk mendistribusikan milik Negara
atau bangsa di wilayah yang lebih luas. Hanya sedikit warga negara di Amerika
yang bersedia meningkatkan keuntungan sosial negara kesejahteraan. Memang, ada
kecenderungan untuk lebih mensosialisasikan sumber daya negara.
Ada bahaya, namun di
negara kesejahteraan. Di antara masalah yang dihadapi oleh negara dan di negara
tersebut akan diadakan gangguan dan kontrol menyeluruh terhadap ekonomi,
politik, sosial, dan budaya; birokrasi; dan akan berusaha untuk menegakkan
undang-undang sosial; dan ada kecenderungan untuk mengalihkan semua tanggung
jawab pribadi kepada negara dan bergantung padanya agar disalurkan semua
kebutuhan warga.
Untuk
menghadapi bahaya ini, warga negara harus bertindak secara bertanggung jawab
dalam hal baik dari Kristen. Sebab, seperti yang diamati oleh Karl Mannheim,
hanya satu generasi yang telah dididik di tingkat agama akan mampu menerima
pengorbanan yang harus diprioritaskan oleh tatanan demokrasi secara benar.
Namun,
konsensus umum para ekonom dan teolog terkemuka di negara ini adalah bahwa
dorongan pembangunan ekonomi harus mengarah pada tujuan yang menjadi ciri khas
negara kesejahteraan. Profesor Howard Bowen menggambarkan tujuan ini. Dia
membuat orang Kristen menyukai tujuan yang membengkokkan dan membahas sebelas
tujuan bawahan yang ada di sini diringkas:
1. Kelangsungan
hidup dan kesejahteraan fisik atau akses terhadap kondisi yang diperlukan untuk
kesehatan, keselamatan, kenyamanan, dan umur panjang sebenarnya;
2. Hubungan
manusia yang memuaskan, dan partisipasi dalam keputusan politik dan ekonomi
yang mempengaruhi hak individu;
3. Martabat
dan kerendahan hati, atau kesempatan untuk mendapatkan posisi, bahkan harga diri
dalam masyarakat tanpa hasrat akan kemampuan atau kekuatan mengalahkannya
dengan orang lain;
4. Pencerahan,
atau kesempatan untuk memuaskan keingintahuan intelektual dan untuk mendapatkan
keterampilan dan pengetahuan demi kewarganegaraan yang cerdas;
5. Kenikmatan
estetika atau kesempatan untuk menikmati dan menghargai nilai estetika dalam
seni, ritual alam dan hubungan pribadi;
6. Kreativitas
dimana individu dapat mengekspresikan kepribadiannya melalui kegiatan kreatifitas;
7. Pengalaman
baru untuk mengatasi kebosanan melalui pemecahan masalah, dunia baru untuk
menaklukkan dan gagasan baru untuk dipikirkan;
8. Keamanan,
ekonomi dan sosial;
9. Kebebasan
untuk mengejar tujuan seseorang tanpa paksaan dan pengekangan yang tidak
semestinya, termasuk kemampuan untuk membuat pilihan dan memikirkan pemikiran
sendiri;
10. Keadilan
atau akses terhadap kesempatan yang sama, terlepas dari tingkatan, warna kulit,
kepercayaan, jenis kelamin, atau opini politik; dan
11. Kepribadian,
atau pengembangan jenis orang sesuai dengan tujuan yang dijelaskan di atas.
Doktrin
Panggilan Kristen
Profesor
James H. Nichols telah menyatakan bahwa Doktrin Protestan tentang "Panggilan
Dunia" menjadi "sarana penetrasi kekristenan terbesar ke dalam budaya
yang sejarahnya atau imannya telah dilihat". Salah satu cara untuk
mencapai tujuan di atas dan kehidupan ekonomi yang lebih baik adalah melalui
pemulihan doktrin panggilan Kristen. Akar doktrin ini dalam pengajaran Alkitab,
terutama dalam pernyataan Paulus tentang "panggilan". Dengan
menggunakan istilah ini dan lebih daripada kognitifnya jadi, empat puluh kali
dalam surat-suratnya, Paulus mengajarkan bahwa orang Kristen disebut dalam tiga
pengertian: Pertama, untuk keselamatan, kedua, untuk melayani di gereja, dan
yang ketiga, untuk memuliakan Allah dalam pekerjaan umum dan pekerjaan
seseorang (individu) (1 Korintus 7:20; Efesus 4:11; 1 Korintus 12:28; Roma 12:
6-8 dan Filemon). Oleh karena itu, panggilan orang Kristen adalah panggilan
untuk menjalani kehidupan Kristen, termasuk orang membuat cara penghidupannya.
Tapi yang berkembang di gereja mula-mula bangsa yang bekerja di luar lingkaran dari
gerejani terlibat dalam "pekerjaan sekuler".
Pada
tahun 318 M, muncullah seperti yang terlihat di Eusebius, Demonstratio
Evangelica, standar kehidupan yang menggandakan, kehidupan orang-orang yang
akan sempurna, dari semua agama mempunyai kepentingan yang sama dalam hal
pekerjaan sekuler, dan karena kehidupan semua orang beragama yang tetap tinggal
di dunia dan melakukan pada fungsi yang biasanya sama keberadaan manusia dengan
semacam kebaikan yang tingkatnya lebih tinggi.
Bagian
utama kitab suci yang digunakan oleh gereja Roma untuk membenarkan moralitas
yang lebih. Ini adalah kisah penguasa anak muda kaya yang memahami bahkan
menghafal hukum namun menginginkan untuk menjadi orang sempurna. Untuk mencapai
kesempurnaan, maka Gereja Roma (Yesus) mengajarkan, dia harus menjual semua
harta benda, dan meninggalkan semua kekayaan, dan mengikuti Yesus. Tapi yang
jelas, dalam kasus penguasa muda Yesus memberikan nasehat khusus, tidak berlaku
untuk semua orang kecuali hanya untuk orang yang membagikan kekayaannya.
Baik
Luther dan Calvin berusaha untuk menghancurkan standar ganda moralitas ini dan
untuk memulihkan doktrin panggilan Alkitabiah. Kata Luther tentang panggilan
dan kehidupan sehari-hari:
Ini
adalah memiliki penampilan yang hebat di hadapan dunia ketika seorang Bhikkhu
melepaskan semua orang dan pergi ke sebuah biara, dan menuju ke sana kehidupan
yang keras dan berat, puasa, jam tangan, doa, dll. Tidak ada kekurangan
pekerjaan; Namun ada kekurangan perintah ... oleh karena itu, tidak dapat
dibuktikan sebagai layanan kepada Tuhan. Di sisi lain, kelihatannya hal yang
sangat kecil bahwa seorang pelayan memasak di rumah, membersihkan, menyapu, dan
melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, tapi karena perintah Tuhan ada bahkan
pekerjaan kecil harus dipuji sebagai pelayanan Tuhan dan hal itu melampaui jauh
semua kesucian dan kehidupan biarawan dan biarawati. Karena di sini tidak ada
perintah Tuhan, betapapun, di sana perintah Tuhan digenapi bahwa seseorang
dapat menghormati ayah dan ibunya, dan seharusnya membantu memberi rumah
(tempat tinggal) . . . dan bahkan sangat banyak, apa yang Anda lakukan di rumah
Anda, seolah-olah Anda memiliki Lakukan dengan Tuhan Allah di atas di surga.
Karena itu adalah berkenan kepada-Nya bahwa kita dalam panggilan di bumi ini harus
melakukan sesuai dengan firman dan perintah-Nya, ia Tuhan menghitungnya segala
sesuatu seolah-olah lakukan itu untuk Tuhan di surga.
Dengan
bangkitnya Revolusi Industri, Doktrin Kristen tentang panggilan sebagian besar
hilang dalam meningkatnya sekularisasi pekerjaan. Pekerjaan sehari-hari dan
panggilan ilahi, yang telah lama dipisahkan oleh standar ganda, dan terikat
bersama dalam teologi Reformasi, sekali lagi hancur berantakan. Kekuatan
impersonal dan sentuhan yang sesuai dari sistem ekonomi modern cenderung
melumpuhkan manusia dan merampas kreativitasnya dalam pekerjaannya. Sementara
istilah "pekerjaann" dan "panggilan" masih digunakan,
mereka berarti "sedikit atau tidak lebih dari aktivitas duniawi yang
diupayakan dengan ketekunan untuk dilihat sendiri, dan demi penghargaan yang
sebenarnya".
Dengan
meningkatnya mekanisasi dan impersonalisasi zaman kita, sangat penting bahwa
kita mengembalikan gagasan Alkitab tentang pekerjaan dan panggilan. Upaya yang
Signifigant sedang dilakukan ke arah ini. Dari badan literatur yang berkembang
mengenai masalah ini, seseorang menemukan konsensus yang berkembang mengenai
sifat dan makna pekerjaan Kristen. Panggilan orang Kristen adalah panggilan yang
memberikan pelayanan yang tulus kepada umat manusia; yang memenuhi kebutuhan
nyata kepada masyarakat; pekerjaan di mana seseorang dapat berdoa; pekerjaan
yang selaras dengan kasih, keadilan, dan martabat (harga diri) manusia; yang
membutuhkan integritas, kreativitas, imajinasi, dan kegunaan sosial pekerja; dan
akhirnya, dengan ditandainya itu untuk satu tujuan.
Pemulihan
doktrin panggilan Kristen akan memberi kontribusi pada pengalihan struktur
ekonomi ke arah tujuan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip Kristen tentang
Cinta, keadilan, dan persamaan. Oleh karena itu, tugas Gereja adalah
mengklarifikasi konsep kerja dan panggilan dan mengilhami orang untuk bertindak
secara bertanggung jawab di mana keputusan ekonomi dibuat.
Masalah Ekonomi dalam Perfektif Dunia
Negara
kita adalah pulau yang banyak berada dalam dunia kemiskinan. Di luar Negara
Bagian Unitetd, Kanada, Eropa Barat, Inggris Raya, dan beberapa negara lainnya,
kemiskinan adalah nasib jutaan orang. Namun sumber daya dunia berlimpah dan kita
tahu teknologi untuk memberi makan semua orang.
Sungguh
ironis bahwa banyak negara Asia dan Timur Tengah dan India, meski kaya akan
sumber daya alam, kekayaan luas yang berlaku di kalangan rakyat. Kurangnya
pengetahuan teknis, komunikasi, transportasi, dan ekonomi yang beragam membuat
tidak mungkin menghasilkan bahan yang memadai untuk dikonsumsi. Juga pemilik
rumah pengusaha dan politisi yang tidak bertanggung jawab, kesehatan yang
berlebihan, imperialisme, eksploitasi kolonial, dan kartel menghalangi kemajuan
ekonomi.
Program
Bantuan Teknis Amerika Serikat Point IV dari Amerika Serikat, dan Rencana
Kolombo Persemakmuran Inggris adalah langkah konstruktif untuk membantu
negara-negara yang belum berkembang untuk bangkit secara ekonomi. Masih banyak
lagi yang perlu dilakukan sepanjang jalur atau melalui pendekatan ini.
Alternatifnya adalah dengan membiarkan jalan terbuka kepada Komunis.
Pertempuran yang akan datang antara Rusia dan Dunia Barat akan menjadi masalah
ekonomi. Jika bantuan ekonomi dan bantuan teknis positif diberikan kepada
negara-negara yang belum berkembang, banyak di antara mereka pasti akan beralih
ke Komunis yang menjanjikan program cepat untuk ekonomi semua orang.
Tapi
apa yang bisa gereja lakukan? Untuk satu hal, dia bisa menyatakan dan mempraktikkan
prinsip berbagi sebagai orang Kristen. Iman melibatkan pembagian harta benda
atau barang dengan mereka yang membutuhkan. Rasul Yakobus menyatakan bahwa jika
seorang saudara laki-laki atau perempuan "tidak berpakaian dan kekurangan
makanan sehari-hari," dan mereka mengatakan kepada kamu, "Pergilah
dengan damai, penuh hangat dan penuh," tanpa memberi mereka hal-hal yang
dibutuhkan untuk tubuh (Yakobus 2: 14-17). Di dunia ini di samping Pelayanan
Gereja dari Dewan Nasional Gereja-gereja Kristus di U. S. A., ada banyak
organisasi lain di mana kita dapat membagikan barang surplus kita kepada
orang-orang yang membutuhkan di dunia ini.
Di
ladang misinya, gereja ini membantu memperbaiki kondisi pertanian, mengembangkan
proyek koperasi masyarakat sebagai pusat rekreasi, pendidikan kejuruan dan
teknis, perumahan dan pusat kesehatan. Seperti Eddy Asirvatham telah dengan
tegas menyatakan: "Jika Komunisme diperiksa secara efektif, gereja harus
mengambil inisiatif dalam memberikan gagasan berdasarkan kebutuhan,
merencanakan dengan dengan benar, dan memprogramkan sebuah visi di yang tinggi.
"Namun,
motif dasar gereja dalam membantu orang-orang miskin di dunia seharusnya bukan melebihi
pemuasan kebiasaan Komunis. Sebaliknya, itu harus menjadi kasih Kristus yang membatasi
gereja untuk menanggapi kebutuhan tetangga di manapun mereka pergi dan berada.
Ini adalah sebuah tragedy atau peristiwa yang terlalu sering terjadi di gereja
dipicu oleh beberapa kekuatan dunia (sekuler) daripada kekuatan spiritual rohani
kasih untuk kemanusiaan, orang-orang yang berdaya ditinggalkan di hadapan dunia
akhirnya orang Kristen tidak bisa berbuat apa-apa di dunia ini.
REFERENCES / REFERANSI
1. See
Hugh Martin, Christ and Meney (London: S. C. M. Press, 1928), pp. 43-44.
2. Thomas
Aquinas, Summa Theoloca, II, Question 66, article 2; Article 7; question 77,
Article 1-4; Question 78, Article 1.
3. Karl and Barbara Hertz and John H. Lichtblau
(trans.), Karl Holl’s The Cultural Signifincance Of The Reformation (New York:
Living Age Books, Meridian Books, Inc., 1959), p. 81.
4. Ibid.,
pp. 99.
5. Corpus
Reformatorum. Brunsvigae Apud, C. A. Schwwestchke et Filum, 1882, X, 431; XL,
431; XXIV, 682; XXVIII, 121.
6. See
Donald O. Wagner (ed.), Social Reformers (New York: Macmillan Co., 1934),
Chapter XII.
7. See
Walter Rauschenbusch, Christianizing the Social Order (New York: Macmillan
Co.), 1912.
8. J.
C. Bennett, Man’s Disorder and God’s Design (New York: Harper & Bros.,
n.d.), III, 193-195.
9. Published
by Harper & Bros,: A. Dudley Ward
(ed.), Goals Of Economic Life, 19953; Kenneth E. Boulding, The Organizational
Revolution, 1953; Howard R. Bowen, Social Responsibilities Of The Businessman, 1953;
Helizabeth E. Hoyt, et. Al., American Income and Its Use, 1954; John C.
Bennett, et.al., Christian Values and Economic Life, 1954; A. Dudley Ward, The
American Economy-attitudes and Opinions, 1956; Walter W. Wilcox, Social
Responcibility In Farm Leadership, 1956; John A. Fitch, Social Responsibilities
and Organized Labor, 1957.
10. Talcott
Parsons (trans.), Max, Weber’s The Protestant Ethic And The Spirit Of
Capitalism (New York: Charles Scribner’s Sons, 1930), p. 2.
11. Ibid.,
pp. 27.
12. Eduard
Heiman, “Comparative Econmic System,” Goals Of Economic Life, ed. A. Dudley
Ward (New York: Harper & Bros., 1953), pp. 126-127.
13. Adam
Smith, Wealth Of Nations (New York: The Modern Library, 1937), I, Book IV,
Chappter II, 423.
14. Karl
Mannheim, Diagnosis Of Our Time (London: K. Paul, Trench, Trubner, and Co.,
1943), p. 102.
15. John
C. Bennett, et.al., Christians Values and Economic Life, “Goals of Economic
Life” (New York: Harper & Bros., 1954), Chapter 4.
16. James
Nichols, Primer For Protestants (New York: Association Press, 1947), p. 138.
17. Samtliche
Schriften. Halle: Herausgegeben Von Johann Georg Walch, Druckts Und Verlegts
Joh., Justinus Gebaur, 1743, Dreizehenter Theil, col. 1962, No. 9, Line 16 ff.;
col. 1966, no. NO. 15 9 ff.
18. Robert
L. Calhoun, “Work and Vocation in Christian History,” in John O. Nelson, ed.
Work And Vocation (NewYork: Harper & Bros., 1954), p. 111.
19. For
an excellent study of the meaning of Vocation and a comprehensive Bibliography
on the Problem, see John O. Nelson (ed.), Work And Vacation (New York: Harper
& Bros., 1954).
20. “World
Economic Problems,” in The Church And Social Responsibility, ed. J. Richard
Spann (New York: Abingdon Press, 1953), p. 156.
BACAAN
YANG DISARANKAN
FLETCHER, JOSHEPH F.
(ed.), Christianity and Property. Philadelphia:
Westminster Press, 1947.
MUELDER, WALTER G.,
Religion And Economic Responsibility. New York:
Charles Scribner’s Sons 1953.
NELSON, JOHN O., Editor,
Work And Vocation: A Christian Discussion. New York:
Harper & Bros. 1954.
TAWNEY, R. H., Religion
And The Rise Of Capitalism: A Historical Study. New York:
Penguin Books, Inc., 1947.
WARD, A. DURLEY (ed.),
Goals Of Economic Life. New York:
Harper & Bros., 1953.
WEBER, MAX, The Protetant
Ethic And The Spirit Of Capitalism.
Translated by TALCOTT PARSONS, New York: Charles Scribner’s
Sons, 1930.
BAB
XV
BERPOLITIK
DALAM KEHIDUPAN
Tanggung jawab etis Kristen meluas ke dalam
dunia politis. Beberapa orang akan menyangkal hal ini, berpendapat bahwa etika
Kristen hanya berlaku dalam hubungan pribadi. Misalnya, seorang pemimpin
politik terkemuka di sebuah negara bagian quasi-selatan menyatakan bahwa
kekristenan "terlalu suci" untuk masukan ke dalam politik. Tetapi di
setiap bidang eksistensi di mana kepribadian terancam atau maju, etika Kristen
relevan dan penting untuk perkembangannya sepenuhnya. Saat ini, ketika negara
cenderung menjadi mutlak dan menolak kebebasan dasar manusia, maka tugas orang
Kristen untuk berpartisipasi dalam keputusan politik dalam hal prinsip-prinsip
Kristen.
Peraturan Negara dalam Perjanjian
Baru
Seperti
dalam kasus tatanan ekonomi, Yesus tidak menghadirkan Teori Politik seperti
itu. Hanya refrensi kebetulan terhadap tatanan politik yang muncul dalam ajaran-Nya.
Namun, sikap dan ungkapan Yesus memberikan beberapa petunjuk bagi orang Kristen
dalam hal hubungan berpolitik.
Yesus
mengakui pemerintahan dan fungsinya yang sah dalam hal memelihara ketertiban,
mengumpulkan pajak, dan menerapkan sistem keuangan negara (Matius 17: 24-25;
22: 15-22; Markus 12:17). Pertanyaan dari orang-orang Farisi mengenai apakah boleh
untuk membayar upeti (pajak jajak) kepada Caesar bermaksud untuk mencobai
Yesus. Jika Dia menyatakan hal itu melanggar hukum, Yesus pasti telah ditangkap
oleh penguasa Romawi. Jika Dia mengatakan bahwa adalah halal atau diperbolehkan
Dia pasti memandangi kami seorang Yahudi yang tidak patriotik. Tetapi Yesus
menjawab: "Berikanlah kepada Kaisar hal itu kalau Caesar punya dan kepada
Tuhan kalau hal itu adalah Tuhan punya." HDA Major menyatakan bahwa dalam
jawaban ini, Yesus "meletakkan dasar-dasar prinsip yang harus membimbing
murid-Nya dalam krisis masa depan di mana otoritas manusia dan otoritas Ilahi -
Negara dan Gereja - membuat suatu pernyataan yang membingungkan.
"Yesus
mengkritik kejahatan yang dilakukan oleh pemimpin pemerintahan dan politik.
Strukturnya, harus dicatat, tidak diarahkan pada pemerintahan sendiri, tapi
karena pelanggaran pemerintah. Yesus memanggil Herodes sebagai "Rabih"
(Lukas 13:32) dan berbicara tentang Rabih Herodes (Markus 8:15). Dia mengutuk
kekuasaan demi kekuatan, ini menjelaskan bahwa otoritas penguasa berasal dari
Tuhan (Markus 10: 42-43; Yohanes 19:11). Dia mendesak para murid untuk
menghindari pengadilan dalam menyelesaikan perselisihan (Matius 5:25). Dan dia
menolak untuk menjadi raja di dunia ini, dan Ia menyatakan bahwa kerajaan Allah
bukanlah di dunia ini (Lukas 22: 24-27; Yohanes 6:15; 18: 33-36).
Mengapa
Yesus memberi pengajarannya yang sedikit tentang tatanan politik? Jawabannya
adalah bahwa tujuan utamanya adalah Penebusan Orang Berdosa, bukan rekonstruksi
(memulihkan) Pemerintah. Namun, seperti halnya masalah sosial besar lainnya,
Yesus memberikan prinsip-prinsip dasar yang dengannya Kristen dapat didamaikan
dalam kegiatan politik. Pendampingan Kristen atas prinsip-prinsip ini telah
sangat memanifestasikan hukum dan pemerintahan melalui abad-abad Gereja.
Pandangan
Paulus terhadap negara mencerminkan sebuah optimisme yang tidak dimiliki oleh
beberapa penulis Perjanjian Baru lainnya. Di Roma 13, dia menyajikan sebuah
konsep tentang sifat dan fungsi negara yang dipalsukan dan tanggung jawab orang
Kristen terhadapnya. Dia melihat negara sebagai institusi yang ditetapkan atau
diberika oleh Tuhan, berfungsi untuk melindungi yang baik dan untuk memberantas
perbuatan yang tidak bagus atau kejahatan. Ia memiliki kekuatan hidup dan mati
atas warganya, bertindak sebagai hamba Tuhan dan pemberita kabar mengenai murka
Allah terhadap pelaku kejahatan. Dan karena negara adalah instrument (alat)
Tuhan untuk mempromosikan ketertiban dan kesejahteraan, maka tugas konsekuen
semua orang untuk mendukungnya dengan menjadi warga negara yang baik, membayar
pajak, dan menghormati mereka yang berkuasa.
Sebagai
warga negara Romawi, Paulus mengajukan permohonan untuk mendapat hak istimewa
sebagai warga negara (Kis. 16:37; 22:28; 25: 1-27). Pada saat yang sama, dia
menyadari bahwa kewarganegaraan sejati orang Kristen ada di surga (Flp.3: 20).
Tapi sama seperti kolonial Romawi yang berusaha menciptakan kehidupan kolonial
baru setelah di Roma, maka orang Kristen harus berusaha untuk menciptakan
komunitas Kristen sesuai dengan hukum surga.
Seperti
Yesus, Paulus juga memperingatkan orang Kristen agar tidak pergi ke pengadilan
untuk menyelesaikan perselisihan mereka (1 Korintus 6: 1-7; Matius 5:40).
Sebaliknya, dia merekomendasikan pendirian pengadilan sebagai usaha perantara
dalam komunitas Kristen. Menurut C. H. Dood, "Pengadilan semacam itu
sangat teratur seperti prosedur pribadi di bawah oleh Hukum Romawi, membentuk dasar
dari yurisdiksi gerejawi kemudian" di gereja.
Perlu
dicatat bahwa asal penguasa dari kekuatan negara dalam pemikiran Paulus tidak
berarti ketaatan yang tidak kritis terhadap bentuk pemerintahan manapun. Ada
implisit dalam pengajarannya bahwa keterbatasan penguasa negara; yaitu, tujuan
negara untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan. Tidak diragukan lagi, dia
pasti lebih kritis terhadap pemerintah Romawi jika dia melakukan penganiayaan
terhadap gereja tersebut. Oleh karena itu, sikap yang umumnya Paulus dan
sezamannya adalah tunduk kepada negara (1 Timotius 2: 1-3; 1 Petrus 2: 13-15).
Orang
Kristen segera mengetahui bahwa penguasa bisa menjadi "teror" baik bagi
orang baik maupun pelaku kejahatan. Penolakan untuk menyembah Kaisar sebagai
simbol negara membawa penganiayaan dan kematian yang meluas kepada banyak orang
Kristen pada saat itu. Paulus sendiri menderita kematian di tangan pemerintah
Romawi. Akibat penganiayaan, gereja berkembang dan bersikap ramah terhadap
negara. Wahyu 13 dapat dikontraskan dengan Roma 13 untuk melihat sikap yang
terpaut dengan orang Kristen dan negara. Di dalam Wahyu 13, dijelaskan
"binatang buas" adalah sama dengan Kekaisaran Romawi yang
mempromosikan agar pemujaan kepada Caesar dan menganiaya orang-orang Kristen
yang menolak membakar dupa kepada Kaisar.
Dengan
secara ringkasan kita dapat mengatakan bahwa, kecuali Wahyu 13, sikap dari
penulis Perjanjian Baru terhadap negara adalah menerima dan menyampaikan.
Namun, tidak ada petunjuk mutlak mengenai bentuk apapun dari negara. Ada yang
menyatakan bahwa, permintaan Kristus dan Kaisar bertentangan, orang-orang
Kristen menyatakan bahwa "kita harus taat kepada Allah dan bukan kepada manusia"
(Kisah Para Rasul 5:29).
Pada
tahun 313, Kekristenan menjadi "diizinkan cara memuji" dengan Kaisar
Konstantin sebagai pelindung dan penganutnya. Kekristenan menjadi populer dan
penganiayaan berhenti. Orang-orang Kristen secara aktif terlibat dalam masalah
politik dan bahkan bertugas menjadi tentara. Dengan demikian gereja dan negara
dipersatukan, membuka jalan bagi kebangkitan kekuasaan pada abad pertengahan
atas dunia Barat.
Adakah
jenis sistem politik tertentu yang harus dipikirkan orang Kristen? Bentuk
negara manakah yang paling sesuai dengan prinsip-prinsip alkitabiah yang telah
kita pelajari? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu untuk
menganalisis konsepsi modern dan bentuk negara tempat kehidupan orang Kristen.
Sebuah Negara memiliki: Suatu Sifat
dan Fungsi
Negara
dapat didefinisikan sebagai badan yang dikelola secara politis, menempati
wilayah yang pasti, berada di bawah pemerintahan merdeka atau terbebas dari
kontrol luar, dan mampu menjamin ketaatan warganya. Di antara teori-teori yang
saling bertentangan mengenai asal-usul negara, ada tiga hal yang paling
mendasar: teokratis, naturalistik dan kekuasaan.
Asal
Negara dari Teori Teokratis adalah pandangan tradisional Protestan. Martin
Luther menganggap negara sebagai hasil atau tujuan akhir dari perjuangan
manusia. Makanya, itu adalah bukan hal yang baru atau asli, tapi sebuah
perintah yang harus pelestarian. Luther menganggap negara sebagai
"Kerajaan yang penuh dosa" atau "kerajaan tangan kiri
Allah". Negara teokratis menemukan ekspresi konkret di kota Jenewa dan
dalam eksperimen Puritan di New England.
Konsep
yang ada di Katolik Roma adalah bahwa negara didasarkan pada sifat manusia
sebelum sebelum jatuh dalam dosa. Heinrich A. Romen menyatakan: "Begitu
dalam adalah negara yang berakar pada kodrat manusia bahwa ia akan tumbuh juga
dalam status alami seperti sebelum berdosa." Sebab itu negara dalam
pemikiran Katolik Roma bukanlah konsekuensi dari dosa, namun melekat pada
manusia sifat asli.
Teori
menyatakan bahwa, asal dari suatu kekuatan negara dibentuk oleh
kelompok-kelompok tertentu yang menggunakannya untuk kepentingan mereka
sendiri. Mislanya Karl Marx, berpendapat bahwa negara bukanlah institusi alami
melainkan hasil dari perjuangan keras, alat-alat janggih yang diciptakan oleh
kaum borjuis (golongan menegah) untuk penindasan kelas bawah dan untuk perlindungan
posisi istimewa. Jadi, dalam masyarakat tanpa kelas bawah dan atas, negara akan
"bersih" untuk digantikan oleh tatanan politik yang lebih adil.
Sedangkan
untuk fungsi negara, ada beberapa ketidaksepakatan mendasar di antara kelompok
agama. Menurut Chiaken Katolik Roma, negara memiliki fungsi protektif dan
promotif. Fungsi proteksinya antara lain meliputi menjaga ketertiban, keadilan,
perlindungan warga dari bahaya eksternal, dan mendorong kepentingan
internasional. Di luar promosi kesejahteraan umum rakyat, pemerintah dan budaya,
negara tidak mempromosikan dan melindungi agama "benar", yaitu Gereja
Katolik Roma.
Meskipun
ada sedikit kesepakatan antara Protestan mengenai fungsi negara, sebuah
konsensus umum diungkapkan pada konferensi ekumenis di Oxford (1937) dan
disuarakan dalam pertemuan Dewan Gereja Dunia di Amsterdam (1948) dan di
Evanston (1954).
Laporan
dari Konferensi Oxford tentang Gereja dan Negara Bagian mengakui negara dalam
lingkup politiknya sebagai otoritas tertinggi, namun berdiri di bawah
penghakiman Allah, terikat oleh kehendaknya, memiliki tujuan pemberian Tuhan
untuk menegakkan hukum, memerintahkan dan melayani kehidupan dari orang-orang
di dalamnya. Oleh karena itu, negara tidak mutlak, tapi pelayan keadilan. Kewenangan tertinggi orang Kristen adalah
Tuhan. Dan sementara orang Kristen harus menyerahkan kepada Kaisar, hal itu
adalah Tuhan yang menyatakan apa yang dilakukan Caesar. Jadi, di mana ada klaim
yang bertentangan antara negara dan Tuhan, orang Kristen harus taat kepada
Tuhan.
Tugas
utama gereja kepada negara adalah untuk menjadi saksi: yaitu, untuk bersaksi
bagi Allah untuk memberitakan firman-Nya, untuk mengakui iman, untuk mengajar
anggotanya untuk mematuhi perintah-perintah penyelamatan, dan untuk melayani
bangsa dan negara dan memproklamirkan kehendak Tuhan sebagai standar tertinggi
kehidupan. Dari tanggung jawab ini, tugas-tugas tertentu mengikuti
gereja-gereja dengan refrensi kepada negara: doa bagi negara; kesetiaan dan
ketaatan, kecuali bila bertentangan dengan kehendak Tuhan; harus gereja kerjasama
dengan negara dalam menyatakan kesejahteraan dan keadilan manusia; kritik
terhadap negara saat ia tinggalkan dari standar keadilan; berteman dengan para orang-orang
di legislatif dan administrasi mereka prinsip-prinsip yang memegang martabat
manusia; dan menyerap kehidupan publik dengan semangat Kristus dan melatih
orang-orang Kristen untuk mencapai tujuan ini.
Membangun
negara dengan hubungannya ke negara-negara lain, dan menyatakan bahwa, gereja
di wilayahnya sendiri adalah masyarakat umum, maka pribadi negara bukanlah unit
politik yang paling utama, namun merupakan anggota keluarga bangsa dengan relasi
kepada dunia internasional dan tugas yang dipromosikan ke gereja-gereja.
Negara
memiliki kewajiban untuk menyediakan kondisi penting bagi gereja, termasuk
semua badan keagamaan, untuk memenuhi fungsi sepenuhnya. Dengan demikian,
gereja harus menikmati kebebasan untuk menentukan iman dan kepercayaannya;
kebebasan beribadah, belajar, mengajar, mengajarkan pengajaran; kebebasan dari
segala imformasi untuk upacara keagamaan dan bentuk ibadah; kebebasan untuk
menentukan sifat pemerintahannya dan kualifikasi para menteri dan anggotanya,
dan, sebaliknya, kebebasan individu untuk bergabung dengan gereja yang dia rasa
nyaman tersebut; kebebasan untuk menempu pendidikan para pendeta, memberikan
pengajaran agama kepada kaum muda, dan untuk menyediakan pengembangan yang
memadai dalam kehidupan keagamaan mereka; kebebasan untuk pelayanan Kristen dan
aktivitas misionaris, baik di rumah maupun di luar negeri; kebebasan untuk
bekerja sama dengan gereja-gereja lain; kebebasan untuk menggunakan fasilitas
semacam itu, terbuka untuk semua warga negara atau asosiasi karena akan
memungkinkan pemenuhan tujuan ini, seperti kepemilikan properti dan pengumpulan
dana.
Laporan
tersebut menyimpulkan bahwa, dalam kasus sebuah gereja yang didirikan, ia juga
harus berada dalam kebebasan di atas. Tetapi jika sebuah gereja yang didirikan
terganggu oleh kurangnya kebebasan semacam itu, adalah tugas para menteri dan
anggota untuk mengamankannya dalam hal ketidakmampuan biaya.
Bentuk Negara Modern
Dua
bentuk utama negara pada zaman kita adalah bersifat demoktrat dan totaliter.
Bentuk terakhir, yang muncul di bawah rubrik Fasisme, Nazisme, dan Komunisme,
mengklaim bahwa manusia sebagai mutlak makhluk hidup. Ini adalah sama seperti
yang dinyatakan oleh J. H. Oldham bahwa:
.
. . Yang menolak untuk mengakui kebebasan di bidang agama, budaya gereja,
pendidikan dan keluarga mereka sendiri; yang berusaha memaksakan semua warganya
kehidupan tertentu; dan yang menetapkan untuk diciptakan melalui semua lembaga
informasi publik dan pendidikan jenis manusia tertentu sesuai dengan
pemahamannya sendiri tentang makna dan akhir dari keberadaan manusia. Sebuah
negara yang menganggap bahwa pernyatakan tersebut mengklaim dirinya bukan hanya
untuk kepentingan sebuah negara tetapi juga sebuah gereja.
Singkatnya,
negara totaliter merangkul atau mengendalikan semua tidak hanya perilaku
terbuka dari subjeknya, tapi juga pemikiran mereka. Ini adalah semacam keadaan
yang bagus bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Harga yang dibayar
adalah nilai spiritual, kebebasan beragama dan politik, martabat manusia dan kebebasan
usaha. Brutalitas, ketidaknyamanan,
ketakutan, eksekusi massal, propaganda palsu adalah ciri khas negara totaliter.
Oleh karena itu, ini adalah bentuk negara yang sama sekali tidak sesuai dengan
konsep kehidupan Kristen.
Sebaliknya,
negara demokratis adalah "rakyat, rakyat dan rakyat." Dengan
pemilihan yang bebas, rakyat mengekspresikan kemauan dan keinginan mereka
melalui perwakilan di pemerintahan. Ini adalah sebuah pemerintahan berdasarkan
persetujuan dan partisipasi orang-orang yang memiliki perlindungan konstitusional
untuk semua masyarakat. Masyarakat demokratis dicirikan oleh lebih dari satu
partai politik dan memberikan kebebasan dasar yang diperlukan untuk pelestarian
dan promosi martabat manusia dan kesejahteraan manusia.
Demokrasi
memiliki kelemahan. Selalu ada bahaya bahwa kelompok minoritas tertentu mungkin
tidak mendapatkan dengan bebas dalam kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat
demokratis. Dalam demokrasi juga, banyak orang mungkin mencoba untuk
mendapatkan sesuatu tanpa ada alasan yang jelas sementara terlalu sedikit yang
mau menyatakannya. Ketidakpedulian yang luas terhadap partisipasi dalam
pemilihan pemimpin dan pembentukan kebijakan mungkin berlaku di kalangan warga
negara. Kebebasan, keagamaan dan politik, bisa dianggap biasa. Dan proses
demokrasi yang lambat mungkin tampak tidak memadai dibandingkan negara
totaliter. Misalnya, yang terakhir dapat mengambil jalan pintas untuk
memberikan bantuan sosial dan teknologi segera ke negara-negara yang ingin ditolong.
Juga, ia mampu memobilisasi kekuatan politik dan militernya pada saat itu juga.
Namun,
masyarakat demokratis tampaknya lebih selaras dengan etika Kristen daripada
bentuk-bentuk lain. Tentu saja, demokrasi tidak dapat diidentifikasi dengan
agama Kristen seolah-olah mereka adalah satu atau sama. Tapi yang pertama,
seperti kita ketahui, sebagian besar berasal dari penginjilan iman Kristen.
Bentuk-bentuk kekristenan lainnya, seperti Katolik Roma dan Othordoxy Timur,
cenderung menentang negara yang demososial. Profesor James H. Nicholas telah
dengan tepat menuliskan bahwa satu-satunya bentuk kekristenan yang telah
mempersiapkan demokrasi terutama dengan Protestan Puritan.
Hubungan Gereja dengan Negara
Empat
pola kontemporer tentang hubungan gereja-negara berada dalam situasi yang
jelas. Ini adalah pandangan Katolik Roma mengenai gereja di atas negara bagian
seperti yang terlihat di Spanyol dan beberapa negara Amerika Latin;
gereja-gereja harus tunduk di bawah negara bagian seperti di A.S.S. dan dimana
satelit milik atau buatan gereja-gereja tersebut dijinakkan untuk digunakan
oleh pemerintah; gereja bersekutu dengan negara, seperti yang terlihat dalam
Komuni Anglikan yang mapan atau sukses di Inggris namun memiliki kebebasan
untuk semua kelompok agama lainnya; dan gereja bekerjasama berdampingan dengan
negara dalam masyarakat dengan kebebasan dan beragama untuk semua kelompok
agama. Dari keempat patters ini, catatan tersebut telah dikemukakan untuk
pertama kalinya di Amerika Serikat. Oleh karena itu, ini mungkin benar disebut
"eksperimen baru" dalam sejarah agama gereja-negara.
Seorang
ahli hukum besar telah menyebut pemisahan gereja dan negara secara utuh di
Amerika Serikat "pencapaian besar yang pernah dicapai dalam kemajuan
manusia."
Faktor
yang berkontribusi, menurut Leo Pfeffer, mencatat ahli hukum dan sejarawan,
keduanya praktis dan ideologis.
Di
sisi praktisnya tercantum Undang-Undang Toleransi Inggris pada tahun 1689
banyaknya kelompok agama di koloni; jumlah besar orang yang tidak dikuasai;
clonies dikembangkan untuk tujuan komersial yang menunjukkan tingkat toleransi
yang besar; Perang Revolusi yang cenderung menyatukan penduduk dan
menenggelamkan perbedaan internal.
Diantara
kekuatan ideologis dalam pencapaian kebebasan beragama adalah eksperimen
William yang berani dan berhasil yang mempengaruhi bapa-bapa dan pemimpin
konstitusional; penerapan kontrak teori sosial yang telah dipopulerkan oleh
John Locke; Kebangkitan Besar yang melanggar agama gereja secara formal dan mengembangkan
perlawanan dan pemaksaan terhadap gereja oleh yang besar; dan prinsip-prinsip
rasionalisme dan deisme yang mengekspresikan kebebasan, kesetaraan,
persaudaraan, dan sikap apatis terhadap agama yang dilembagakan.
Di
antara pemimpin politik adalah walikota yang mendesak kebebasan beragama oleh Thomas
Jefferson dan James Madison. "RUU Pembentukan Kebebasan Beragama"
Jefferson disahkan oleh Majelis Virginia pada tahun 1786. Kemudian, dalam
sebuah surat Baptis kepada Danbury pada tahun 1802, Jefferson menyatakan bahwa
ada "tembok pemisahan antara Gereja dan Negara Bagian." Dengan ini
dia bermaksud bahwa kekuatan negara dan gereja tidak boleh disatukan sedemikian
rupa sehingga masing-masing akan terlibat dalam fungsi resmi yang lain.
Meskipun menentang sebuah gereja yang telah dibangun, Jefferson sangat
menghormati agama. Ketika mendirikan Universitas Virgina, Jefferson menyediakan
tempat untuk beribadah dan mengumpulkan buku-buku agama untuk perpustakaan.
Juga dia memberikan dukungannya kepada usulan bahwa denominasi agama diundang
untuk mendirikan Tekolah Teologi independen di lingkungan terdekat bagi para Profesor
agama untuk mengajar di sana.
Di
antara kelompok keagamaan yang membuat kontribusi paling signifikan dalam
mencapai kebebasan beragama di Amerika adalah Baptis. Sejarawan umumnya sepakat
bahwa kaum Baptis adalah yang paling aktif dari semua badan keagamaan kolonial
dalam perjuangan untuk kebebasan beragama dan pemisahan. William W. Sweet,
mencatat sejarawan gereja Methodist, telah menyatakan bahwa bagian Jefferson
dalam pencapaiannya tidak begitu hebat seperti James Madison, bukan
"kontribusi dari keduanya atau keduanya sama pentingnya dengan orang-orang
sederhana yang disebut Baptis.
"Menurut
prinsip pemisahan gereja dan negara di negara kita jelas terlihat dalam sikap
dan tindakan orang-orang Katolik Roma. Misalnya, upaya dilakukan untuk
meremehkan dan pemisahan interpretasi tradisional. JM O'Neill, pendidik
Katolik, berpendapat bahwa pemisahan gereja dan negara tidak berdasar karena
"tembok pemisahan" hanyalah "metafora" atau "slogan
palsu." Oleh karena itu, "sebuah pendirian agama" dalam konstitusi
Ada gereja yang stabil dalam bentuk apapun dan tidak mengesampingkan dana pajak
untuk semua gereja. Leo Pfeffer dari Kongres Yahudi Amerika telah menawarkan
penolakan yang luar biasa dari pandangan ini bahwa tidak ada otoritas hukum
yang memiliki reputasi sejak menemukan jawabannya.
Ancaman
lain dari umat Katolik terhadap pemisahan gereja dan negara terlihat pada
permintaan dana publik untuk mendukung sekolah paroki mereka. Sudah di beberapa
negara bagian transportasi bus, buku bacaan, makan siang gratis, dan
"manfaat marjinal" lainnya diberikan ke sekolah Katolik. Tapi, dalam
Kasus Everton (1947), pengadilan menyatakan bahwa "tidak ada pajak dalam
jumlah apapun, besar atau kecil tidak dapat diambil untuk mendukung kegiatan
keagamaan atau institusi apapun, yang mereka dapat dipanggil atau bentuk apapun
yang dapat mereka adopsi untuk mengajar atau praktik agama. "Keputusan ini
secara efektif memotong harapan bantuan pemerintah untuk institusi Katolik Roma
di luar apa yang disebut" manfaat marjinal. "Namun, Gereja Roma tidak
akan menerima dengan masukan kecil ini dan akan terus memberikan arahan untuk
dukungan pelayanan seperti itu dari sekolah negeri.
Ada
bukti yang menunjukkan bahwa ada ancaman terhadap kebebasan beragama dalam
harapan Katolik Roma untuk mengubah Konstitusi sehingga dapat memperoleh
dukungan bagi agamanya. Setidaknya pemimpin Katolik Roma mencatat kemungkinan
tersebut. Msg. John A. Ryan dan Moorehouse F. X. Milliar, telah menyatakan:
Konstitusi
dapat diubah, dan sekte non-Katolik dapat menolak sampai pada titik tertentu,
larangan politik mereka dapat menjadi layak dan bijaksana. Apa perlindungan
yang akan mereka hadapi terhadap sebuah Negara Katolik? Yang terakhir ini bisa
secara logis mentolerir aktivitas keagamaan seperti yang terbatas pada anggota
kelompok berbeda. Ia tidak bisa membiarkan mereka melakukan propaganda umum dan
tidak sesuai dengan hak istimewa organisasinya yang sebelumnya telah diberikan
kepada semua corvasi keagamaan, misalnya pembebasan dari perpajakan.
Di
sisi lain, Ryan dan Profesor FJ Boland dari Notre Dame menyatakan bahwa,
seandainya Gereja Katolik Roma menjadi gereja yang sukses, pemujaan non-Katolik
"dapat" ditolerir oleh negara jika "dijalankan di dalam
keluarga, atau dengan cara yang tidak mencolok seperti sebuah kejadian baik
skandal maupun penyimpangan kepada umat beriman. "Kedua pernyataan di atas
memiliki implisit nyata bahwa seorang Kardinal dan pada dasarnya adalah posisi
yang sama dengan Pop Leo XIII.
Ancaman
ini yang serupa membuatnya penting bahwa setiap usaha dilakukan untuk
memberikan dukungan aktif terhadap pelestarian dan promosi kebebasan beragama
Amarika. Kebebasan beragama di negara kita tidak diakui tanpa iman dan tidak
dapat dipertahankan tanpa kewaspadaan dalam tindakan agresif atas namanya.
Masalah Perang dan Damai
Perang
adalah fenomena kuno dan merupakan salah satu isu paling krusial di dunia
kontemporer. Saat ini, seperti Arnold Toynbee menyatakan, "perang adalah
pertanyaan penting yang menjadi tujuan nasib peradaban kita." Konflik
dunia lain dapat mengeja malapetaka kemanusiaan.
Gelombang
perang yang sangat mengejutkan. Pitirim A. Sorokin mencatat bahwa telah terjadi
967 perang antar negara dalam sejarah dunia Barat dari 500 b.c. ke 1925 A.D.
Dengan demikian, perang telah terjadi rata-rata setiap dua setengah tahun
selama periode itu. Untuk periode damai selama seperempat abad.
Dengan
setiap generasi dana mengenai perang meningkat. Biaya tentara dalam hal
kehidupan manusia tidak dapat pikirkan. Dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat
kehilangan hampir satu juta orang dan sekitar seperempat juta lainnya dalam
konflik Korea. Angka-angka ini, tentu saja, tidak termasuk jutaan warga sipil
yang terluka atau terbunuh dalam perang ini.
Dari
segi uang, perang dilancarkan dengan biaya sangat besar. Menurut Departemen
Perang Dunia ke II biaya $ 323, 632, 501, 000 dan Perang Korea dengan menelan
biaya $ 20.000.000.000. Dalam era "perang dingin" ini, lebih dari
empat puluh miliar dolar dialokasikan hanya untuk tujuan pertahanan. Pada tahun
1970, anggaran untuk pertahanan melebihi lima puluh atau tujuh puluh sampai
delapan puluh miliar dolar.
Sekarang
kita hidup di bawah ancaman Firman Dunia III yang akan lebih dahsyat daripada
semua perang sebelumnya yang disatukan. Prinsip perang "adil" tidak
lagi layak dilakukan, karena tidak ada perang atom yang bisa terjadi baik
dengan niat baik maupun perilaku. Jalan menuju kedamaian abadi harus dicari
jika kita ingin bertahan. Dimensi perang baru dalam hal senjata pemusnah massal
membuatnya penting bahwa gereja mengambil langkah positif menuju perdamaian
permanen.
Apa
yang dapat gereja lakukan selain memproklamirkan Injil Kasih, penebusan,
rekonsiliasi, dan perdamaian? Apa sajakah cara konkret gereja dapat
berkontribusi pada perdamaian?
Kemungkinan
kerja sama dengan organisasi dan gerakan sebagai Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang berusaha menstabilkan perdamaian di dunia.
Gereja
dapat menuntut negosiasi selanjutnya, betapapun tidak mungkin hal ini dapat
muncul mana saja. Dia dapat bersikeras melakukan upaya terus menerus untuk
menjamin perlucutan senjata yang efektif, pengendalian senjata atom secara
internasional, dan mendorong perluasan program bantuan timbal balik secara
besar-besaran ke negara-negara berkembang.
Dan
gereja dapat membantu mempertahankan harapan dunia yang tidak berperasaan, seperti
yang dinyatakan oleh nabi Yesaya, di mana manusia akan mengubah senjata
penghancur menjadi instrument (alat) kesejahteraan manusia. Pada hari itu,
orang-orang akan "memukul pedang mereka menjadi bajak, dan tombak mereka
menjadi pemangkas; bangsa tidak akan mengangkat pedang melawan, mereka juga
tidak akan belajar perang lagi "(Yesaya 2:4).
Orang Kristen sebagai Warga Negara
Orang
Kristen adalah memiliki dua warga negara yaitu dari dunia, adalah sementara dan
yang lain adalah abadi. Sebagai warga dunia ini, ia harus bertindak dalam
terang kebenaran orang Kristen di setiap bidang keberadaannya. Ini termasuk
wilayah politik. Oleh karena itu, keputusan politiknya harus dibuat selaras
dengan perintah kasih dan keadilan Kristen. Hal ini tentu lebih mudah diucapkan
daripada dilakukan. Kendati demikian, ia harus bertindak secara bertanggung
jawab dalam membentuk karakter moral masyarakat tempat tinggalnya (negaranya).
Adalah
tugas orang Kristen dalam komunitas yang demokratis untuk: (1) pandai, memahami
daerah dan proses pemerintahan; (2) berpartisipasi dalam pemilihan pejabat
publik dan pembentukan kebijakan publik; (3) bekerja untuk perluasan keadilan,
kebebasan, dan kelayakan hidup bagi semua warga negara, terlepas dari ras,
kalori, atau kepercayaan; (4) melayani di tempat-tempat kepemimpinan politik
yang mana seseorang harus yang berkualitas, terlepas dari kritik yang mungkin
akan datang; (5) menantang dan mengkritik kekuatan apapun di masyarakat yang
cenderung dan menolak hak asasi manusia atau bertentangan dengan pernyataan
Tuhan; (6) menyelaraskan diri dengan gereja dan kekuatan konstruktif lainnya
yang berusaha memperkuat serta rohani dan moral individu dan bangsa.
REFERENSI
1. H.
D. A. Major, et. Al.,The Mission and Message of Jesus (New York: E. P. Dutton
& Co., Inc., 1938), p. 148.
2. “The
Ethics of the Pauline Epistles,” Evolution of Ethics, ed. E. H. Sneath (New
York: Yale University Press, 1927), p. 325.
3. D.
Marthin Luther’s Werke (Weimar: Hermann Bohlou Nachfolger, 1915), XLII, 79 and
LII, 26.
4. H.
A. Rommen, The State In Catholic Thought
(London: B. Herder Book Co., 1945), p. 228.
5. Karl
Marx, Communist Manifesto (Chicago: Henry Regnery Co., 1950), pp. 11.
6. See
“On Human Liberty,” Encyclical Letter Libertas Praestantissimum, June 20, 1888,
in Etienne Gilson, The Church Speaks to The Modern World (New York: Image
Books, 1954), p. 71.
7. Section
II, “Church and State,” The Message and Decisions of Oxford on Church,
Community and State (New York: Universal Christian Council, n.d.), pp.25-30.
8. J.
H. Oldham, Church, Community, and State: A World Issue (London: S.C.M., 1936),
pp. 9-10.
9. James
H. Nichols, Democracy and The Churches (Philadelphia: Westminster Press, 1951),
Chap. V.
10. David
Dudley Field, “American Progress,” in Jurisprudence (New York: Martin B. Brown,
1893), p. 6.
11. Leo
Pfeffer, Church, State and Freedom (Boston: Beacon Press, 1953), pp. 81-93.
12. Saul
K. Padovor, The Complete Jefferson (New York: Duell, Sloan & Pierce, 1943),
pp. 518-519.
13. Anson
Stoke, Church and State in The United State (New York: Harper & Bros., 1950),
I, 337.
14. Pfeffer,
op. cit., p. 90.
15. W.
W. Sweet, The Story of Religion In America (New York: Harper & Bros.,
1939), p. 279.
16. J.
M. O’Neill, Religion and Education Under the Constitution (New York: Harper
& Bros., 1949), pp.42, 72, 82, 95.
17. “Church
and State: Something Less Than Separation.” University Of Chicago Law Review,
Vol. 19, No. 1, Autumn 1951; see also pfeffer, op. cit.,V.
No comments:
Post a Comment